BIOGRAFI


BAB I
PENDAHULUAN

Kitab  al  Qur’an  yang  merupakan  pusat  ajaran  Islam  telah  menjadi  bahan pengkajian  yang  tidak  pernah  kering.  Ia  selalu  digali  agar  ditemukan  berbagai mutiara dari  dalam  kandungannya.  Sepanjang  perjalanan  sejarah  al  Qur’an,  berbagai  kalangan telah menumpahkan segenap waktu, tenaga dan fikirannya untuk selalu dapat berinteraksi dengan kalam yang mulia tersebut. Semakin  intens perhatian yang diarahkan kepadanya, semakin  besar daya  tarik  yang  ia pancarkan dan  daya  tarik  tersebut    tidak pernah habis dan selalu tampak menarik bagaikan kilauan sudut permata yang begitu indah.
 Salah  satu  jenis kajian  yang  terus berkembang  seiring   perjalanan waktu adalah  kajian tafsir yang boleh dikatakan sama tuanya  dengan usia al Qur’an sejak ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW 14 Abad yang lalu. Dalam setiap kurun waktu tertentu, cabang  ini telah menghasilkan  pemikir-pemikir yang brilian yang telah mampu menjelaskan berbagai macam makna yang dikandung oleh Al Qur’an dan menghasilkan karya-karya besar. Karya-karya tersebut kelak akan menjadi salah satu alat mediasi yang paling jitu untuk mudah memahami al Qur’an dan menjadikannya pelita dalam kehidupan ini.
  Tak pelak lagi, nama Abdullah bin Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu  Abbas  menjadi  salah  satu  nama  yang  paling  popular  dalam  menafsirkan  wahyu Allah tersebut. Kemampuan yang ia miliki  telah diakui oleh berbagai kalangan, terutama kalangan sahabat-sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab dan Ali bin   Abi Thalib. Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al Qur’an, pun menjadi salah satu  model  yang  mengilhami  ulama-ulama  besar    dalam  bidang  tafsir  beberapa  abad kemudian. Kota suci Mekkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas yang juga menghasilkan  ulama-ulama besar seperti  Said bin Jubair  dan Mujahid bin Jabr.[1]

 
BAB II
PEMBAHASAN
Abdullah Ibnu Abbas Dan Pengaruh Pemikirannya Dalam
Perkembangan Penafsiran Al-Qur’an

A. Profil Ibnu Abbas.
            Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf al Qursyi al Hasyimi.[2] Beliau adalah anak paman Rasul Abbas bin Abdul Muthallaib. Ibundanya adalah Lubabah al Kubra binti al Harits bin Hazan al Hilaliyah. Ibnu  Abbas  lahir  di  kota  Mekkah  3  tahun  sebelum  Rasul  Hijrah  ke  kota  Madinah. Kelahiran  beliau  bertepatan  dengan  tahun  pemboikotan Bani Hasyim  oleh  orang-orang Quraisy.
Ibnu Abbas  selalu  bersama Nabi    di masa  kecilnya    karena  beliau  termasuk salah satu kerabat dekat nabi dan karena  bibinya, Maimunah,  adalah salah seorang  istri Nabi.   Menurut Riwayat Bukhari,  Ibnu Abbas   dididik  langsung oleh Rasul  dan Rasul meramalkan bahwa  ia  akan menjadi ahli Tafsir  al Qur’an.
 Pada  tahun  36 H.  beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj.   Ia  tidak berada di kota Madinah ketika Utsman terbunuh. Dalam pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Ibnu Abbas memihak kepada Ali. Di akhir usianya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan,.namun hal  itu  tidak  membuat  kendurnya  semangat  beliau  untuk  menggali  nilai-nila  yang terkandung di dalam al Qur’an serta  terus bersikap kritis  terhadap setiap perkembangan yang  terjadi di  tengah ummat pada masanya.
 Ibnu Abbas   wafat pada  tahun   68 Hijrah  dalam usia 70 tahun. Beliau wafat di kota Thaif  dan dimakamkan di kota yang sama.  Ibnu Abbas    diberi  gelar  al Bahr [3] yang  berarti Samudra. Hal  itu  disebabkan  karena  betapa    dalam  dan  luas    ilmu  yang  ia  miliki.  Kepakaran  tersebut    disebabkan kehidupan  ilmiah  yang  selalu menghiasi  hari-hari beliau, di mana  belajar dan mengajar  adalah  kesibukan-kesibukan  yang  tidak  pernah  beliau  tinggalkan.  Beliau  mengajarkan berbagai  macam  ilmu  kepada  muruid-muridnya.  Kadang-kadang  beliau  mengajarkan Fiqh, atau Ta’wil atau sejarah. Ubaidillah bin Abdullah pernah mengatakan: “ Tidaklah aku menyaksikan orang alim  yang duduk bersama Ibnu Abbas kecuali  ia merendahkan diri terhadap Ibnu Abbas.  Dan tidaklah  aku  melihat orang yang bertanya kepada Ibnu Abbas    kecuali  ia  akan  mendapatkan  ilmu  dari  jawaban  Ibnu  Abbas.”  Hal  itupun semakin  ditopang  oleh  ketidakterlibatan  beliau    dalam  percaturan  politik  dan pemerintahan, [4] kecuali  hanya  dalam  waktu  yang  sangat  sedikit,  yaitu  ketika  beliau ditugaskan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai Amir di kota Basrah.
            Dengan  kedalaman  ilmu  tersebut  berbagai  macam  pujianpun  diarahkan  kepada beliau, seperti yang disampaikan oleh  Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa  Ibnu Abbas adalah  ummat  Muhammad  yang  paling  tahu  tentang  apa  yang  diturunkan  kepada Muhammad. Thawus, salah seorang Tabi’in pernah ditanya oleh al Laits bin Sulaiman  : “Mengapa  engkau  tinggalkan  sahabat-sahabat  senior dan  berguru kepada  anak kecil  ini (Ibnu Abbas).  Thawus menjawab,  “Aku   melihat 70  orang sahabat Rasul  berselisih tentang suatu urusan, akan  tetapi semuanya kembali kepada   pendapat  Ibnu Abbas.”
Luasnya  ilmu  yang  dimiliki  oleh  Ibnu Abbas,  tidaklah  terjadi  begitu  saja. Akan  tetapi kepakaran  tersebut    disebabkan  oleh  beberapa  hal  yang  amat  penting  yang  menghiasi perjalanan hidup beliau :
1.  Do’a  Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat  tentang  kemampuan  Ibnu  Abbas  dalam menafsirkan  dan memahami  kitab suci  al Qur’an. Menurut  pengakuan  Ibnu Abbas  Sendiri, Rasul  pernah  dua  kali mendoakan  beliau. Do’a  tersebut  adalah Allahum  ‘allimhu  al  hikmah  dan allahumma  faqqihhu  fiddin wa  ‘allimhu al Ta’wil.[5] Menurut  ajaran  Islam,  do’a  yang  dipanjatkan  oleh  Rasul  adalah do’a  yang  mustajab  dan  seluruh  kehendak  Rasul  di  dalam  do’a  tersebut dikabulkan oleh Allah.
2.  Ibnu  Abbas  besar  dalam  lingkungan  rumah  tangga  kenabian,  di  mana  beliau  selalu hadir bersama Rasulullah  sejak kecil. Beliau selalu mendengar  banyak hal dari  Rasul,  dan  menyaksikan kejadian  serta  berbagai  peristiwa yang menyebabkan  turunnya  ayat-ayat  al  Qur’an.  Bahkan  beliau  pernah   dua  kali menyaksikan Malaikat Jibril  bersama dengan Nabi.[6]
3.  Interaksi  beliau  dengan  para  sahabat  senior  sesudah  wafatnya  Rasulullah.  Dari sahabat-sahabat senior  tersebut,  Ibnu Abbas   belajar berbagai hal yang berkaitan dengan  al  Qur’an  seperti  tempat-tempat  turunnya  al  Qur’an,    sebab-sebab turunnya  ayat  dan  lain  sebagainya.  Upaya  untuk  belajar  dan  bertanya  tersebut diungkapkan  oleh  Ibnu Abbas  sendiri  :  “Aku  banyak mendapatkan  hadits Rasul dari  kalangan Anshar. Bila  aku  ingin mendatangi  salah  satu  di  antara mereka, maka  aku  akan mendatanginya.  Boleh  jadi  aku  akan menunggunya  hingga  ia bangun tidur kemudian beliau bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi.
4.  Pengetahuan  beliau  yang  sangat  luas  tentang  bahasa  Arab  terutama  kaitannya dengan  uslub-uslubnya  dan  puisi-puisi   Arab  kuno  yang  amat  berguna  untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an.
5.  Kecerdasan  otak  yang  merupakan  anugerah  Allah  yang  membuat  Ibnu  Abbas mampu  untuk  berijtihad    dan  berani  menerangkan  berbagai  hal  yang  beliau anggap benar dalam penafsiran al Qur’an. 
            Dengan  pengetahuan  yang  amat  luas  tersebut, maka  Ibnu Abbas  selalu menjadi rujukan  para  sahabat  baik  senior  maupun  yunior  untuk  meminta  keterangan  dan penjelasan tentang maksud suatu ayat. Seperti kasus ketika Umar bin al Khattab bertanya maksud ayat : (  ايود احدكم ان تكون جنة من نخيل   ) surat al Baqarah ayat 266.  Maka tidak  seorangpun  dari  sahabat  yang  mampu  memberikan  penjelasan  yang  memadai tentang  ayat  yang  dimaksud.    Pada  akhirnya  Ibnu  Abbas  berkata  :  Wahai  Amirul Mu’minin. Aku mendapatkan suatu pemahaman pada diriku tentang ayat yang dimaksud. Ayat tersebut berisi perumpamaan  yang dikemukakan Allah  sehingga seolah-oleh Allah berkata  : Apakah salah seorang di antara kalian menyukai   pekerjaan orang-orang yang baik sepanjang hidupnya  namun ketika akan wafat ia tutup  agenda hidupnya yang baik tersebut dengan   mengerjakan pekerjaan orang-orang yang sengsara. Sehingga pekerjaan tersebut merusak  seluruh  amal  kebajikannya. Kedalaman  ilmu  tersebut  pulalah pada akhirnya kaum muslimin memberinya gelar sebagai Turjumanul  Qur’an,  penafsir  al-Qur’an.[7]
B. Pemikiran Tafsir Ibnu Abbas.
 Ibnu  abbas  merupakan  peletak  dasar  dari  teori  penafsiran  yang  banyak mengilhami  model-model  penafsiran  era  berikutnya.    Pemikirannya  diyakini  sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun  kalangan  mufassir  bi  al  ra’yi.  Bahkan  secara  tradisional  beliau  dipercaya  sebagai salah seorang  tokoh   yang  telah berhasil menanamkan   embrio Hermeneutika al Qur’an.[8]
            Bagi  kelompok  bi  al  ma’tsur  (penafsiran  memalui  tradisi)  Ibnu  Abbas  telah memberikan panduan penafsiran al Qur’an terbaik, dengan membiarkan al Qur’an salingmenjelaskan keterkaitan  yang  saling berhubungan antara  satu ayat dengan ayat  lainnya. Sebab  penafsiran  al  Qur’an  dengan  al  Qur’an  sendirilah  yang  memiliki  validitas  kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas  bagi  al  Qur’an  juga  diyakini  sebagai  salah  satu  alternatif  untuk menyingkap makna-makna  yang cukup sulit untuk dipahami. Kedua  cara  yang ditempuh oleh  Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku  bagi kelompok penafsir al Qur’an bi al ma’tsur untuk masa selanjutnya.
Kelompok    mufassir  bi  al  Ra’yi  (Penafsiran  melalui  nalar)  juga  memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang  telah digagas oleh  Ibnu Abbas. Bagi  Ibnu Abbas,  bila keterangan sebuah makna ayat  tidak  ia  temukan di dalam al Qur’an atau dari hadits  nabi,  maka  beliau  berupaya  untuk  merujuknya  kepada  sair-sair  Arab  kuno  ataupun percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi. “Keluarnya”  Ibnu  dari  lingkaran  al  Qur’an  dan  Hadits  Nabi  tersebut  adalah  sebuah keberanian dan merupakan  ijtihad   dalam  bentuk  lain. Dan  tentunya keberanian   untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian yang bersifat apriori, namun  dilandasai oleh niat dan  keinginan  yang  kuat  untuk  menyingkap  makna-makna  terdalam  dari  al  Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al samawaat  ( فاطر السماوات), sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab  Badui  tengah  bertikai  masalah  sebuah  sumur.  Salah  seorang  dari  Arab  Badui mengatakan  :  ana  Fathortuha  (انا فطرتها   )  (aku  yang  membuatnya).  Dengan  adanya percakapan  tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata :فاطر  Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam, baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti  Ibnu Juraij. Namun sebagaimana yang dikatakan  oleh   Husain  az  Zahabi,  bahwa  eksplanasi  tersebut  hanya  berkaitan  dengan  pambahasan  yang  sangat  terbatas    dan  adanya  kecocokan  sejarah  antara  al Qur’an  dan  kitab-kitab samawi  lainnya. Akan tetapi  jika berseberangan dengan keterangan al Qur’an atau  bahkan  bertentangan  dengan  syari’at  Islam, menurut Az Zahabi,  Ibnu Abbas  tidak  mempergunakan penafsiran ahli kitab.   Keberanian  Ibnu Abbas untuk mencari  sumber-sumber penafsiran dari  selain al Qur’an   dan  hadits  nabi menjadi  inspirasi penting bagi kalangan ahlu al ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu alternatif  penafsiran al Qur’an.  
Secara  eksplisit  terungkap,  Ibnu  Abbas  memiliki  kecenderungan  untuk menggunakan akal  fikiran yang  jernih dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku penafsiran ayat dengan ayat  lainnya, atau ayat dengan hadits  Nabi.    Beliau  berani  berijtihad,  dan  diakui  oleh  kalangan  sahabat.  Contoh keberanian  lain  tersebut  adalah  ketika  Ibnu  Umar  meminta  Ibnu  Abbas  untuk menafsirkan ayat  (  اولم يرئ الذين كفروا ان السماوات والارض رتقا ففتقناهما).  Dalam penafsirannya  Ibnu  Abbas  tidak merujuk  kepada  al Qur’an maupun  hadits Nabi,  akan tetapi  merujuk  kepada  pemikirannya  sendiri.  Beliau  mengatakan  bahwa  langit  dulu bersatu dengan bumi. Yang dimaksud bersatu di sini  langit  tidak menurunkan hujan dan bumi  tidak  menumbuhkan  tanaman.  Maka  Allah  memisahkan  keduanya  dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di Bumi. Ibnu Umar menanggapi  penafsiran  tersebut  dengan  mengatakan  :  “Aku  begitu  kagum  dengan penafsiran  Ibnu Abbas. Dan  sekarang aku  tahu bahwa  ia  telah mendapatkan anugerah ilmu.” [9]Dengan  demikian  bibit-bibit  penafsiran  dengan  menggunakan  nalar  telah dibangun oleh Ibnu Abbas semenjak generasi kedua Ummat Islam. Meskipun  Ibnu  Abbas  telah  memulai  upaya  penafsiran  menggunakan  rasio, namun  pemikirannya-pemikiran  tafsirnya  belaum  dibukukan  dalam  bentuk  kitab  tafsir yang  sistematis. Untuk mengetahui bentuk pemikiran belaiu, masih harus menggunakan sistem periwayatan. Hal  itu disebabkan oleh belum berkembangnya sistem  tulis menulis dengan  baik  pada  saat  itu. Untuk mengetahui  pemikiran  tafsir  ibnu Abbas,  para  ulama telah  menetapkan  jalur  periwayatan  yang  akurat  dan  memiliki  tingkat  kebenaran maksimal.
 Imam  As  Suyuthi  mengatakan  “Pemikiran-pemikiran”    Ibnu  Abbas dalam bidang  tafsir memiliki  jalur  periwayatan  yang  sangat  banyak. Dan  riwayat  yang  paling baik adalah melalui  jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan  jalur periwayatan  ini  telah  diakui  oleh  Imam  Bukhari  di  dalam  kitab  Sahihnya  apabila meriwayatkan  hadits  dari  Ibnu  Abbas. Namun meskipun  begitu, masih  ada  sebagian kelompok yang meragukan periwayatan  langsung Ali bin Abi Thalhah dari  Ibnu Abbas.
Kelompok ini beranggapan bahwa Ali Bin Abi Thalhah tidaklah mendengar langsung dari Ibnu  Abbas,  akan  tetapi  meriwayatkan  pemikiran  Ibnu  Abbas  melalui  perantaraan  Mujahid atau Said bin Jabir.  Selain  jalur  Ali  bin  Abi  Thalhah,  juga  terdapat  jalur  lain  yang  juga  dianggap sebagai  jalur  yang  baik  untuk mengetahui  pemikiran  Ibnu Abbas.  Jalur  tersebut  adalah jalur periwayatan   Qais bin Atha’ bin Saib dari   Said bin Jabir dari  Ibnu Abbas.    Jalur periwayatan ini menurut Bukhori dan Muslim adalah jalur yang sahih. Juga terdapat jalur periwayatan dari    Ibnu  Ishaq dari   Muhammad bin Abi Muhammad   dari  Ikrimah   atau dari said bin Jabir dari Ibnu Abbas.
            Namun jalur ini menurut  Ibnu Jarir al Thabari dan Abi Hatim adalah jalur periwayatan yang  hasan, dan mereka juga menggunakan jalur ini dalam meriwayatkan penafssiran-penafsiran dari Ibnu Abbas.  Keberadaan  Ibnu Abbas  di Kota Mekkah    telah menciptakan  sebuah  konstelasi pemikiran  Tafsir  yang  brilian.  Murid-murid  beliau  dianggap  sebagai  pemuka-pemuka Tafsir  yang  mencerahkan.  Ibnu  Taimiyah,  seperti  yang  diungkapkan  As  Suyuthi, mengatakan  bahwa  orang  yang  paling  tahu  tentang  tafsir  adalah  kelompok  Mekkah, karena  di  kota  ini  bermukim  Ibnu Abbas.
 Murid-murid  iIbnu Abbas  yang  terkemuka dalam bidang Tafsir adalah Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah,  Ikrimah, Said bin Jabir dan Thawus.                                           Meskipun  pemikiran  Ibnu Abbas  yang  berkaitan  dengan Tafsir  lebih  banyak  di pahami melalui  jalur  periwayatan,  akan  tetapi  para  ulama mencoba  untuk memadukan berbagai  pemikiran  Ibnu Abbas  dalam menafsirkan  ayat-ayat  al Qur’an.  Sebuah  karya yang berada di  tangan penulis saat  ini menunjukkan hal  tersebut. Berbagai riwayat  telah dikumpulkan  sehingga menjadi  sebuah  kitab  yang menghimpun  pemikiran  Ibnu Abbas dalam memahami  al Qur’an, mulai  dari  surat  al Fatihah  sampai  dengan  surat  al Naas.
Kumpulan  penafsiran  tersebut  diberi  judul  (تنوير المقباس من تفسير ابن عباس)  Tanwirul Miqbas  min  Tafsiri  Ibni  Abbas.  Riwayat-riwayat  yang  berkaitan  dengan  penafsiran  al Qur’an  ini  dikumpulkan  oleh    Abi  Thahir Muhammad  bin  Ya’qub  al  Fairuzzabady  al Syafi’i.[10]
Menurut  az  Zahabi,  segala  sesuatu    yang  diriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  dalam tafsir  ini hanya melalui  jalur periwayatan   Muhammad bin Marwan as Suday al Shaghir dari Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari  Ibnu Abbas. Secara pribadi, az Zahaby meragukan seluruh riwayat    tersebut yang ada dalam  tafsir  tersebut dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, sebagaimana keraguan yang juga dialami oleh Imam Syafi’i. menurut as Syafi’I, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Ibnu Abbas dalam masalah tafsir hanya berjumlah  ratusan. Artinya    bila  riwayat  tersebut meliputi  seluruh  ayat  al Qur’an  yang berjumlah  ribuan,  maka  ada  sebagian  yang  tidak  dapat  dipertanggungjawabkan kebenarannya.
  C. Tafsir Ibnu Abbas.
Az  Zahabi mengungkapkan sebuah  kitab Tafsir  yang  dinisbahkan  kepaba  Ibnu Abbas yang diberi nama Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas.   Tafsir  ini diterbitkan di Mesir  dan  cetakan  lainnya  berasal  dari  Beirut. Dari  cetakan  aslinya,  kitab  ini  tidak memiliki  kata  pengantar,  sehingga  tidak  dapat  diselami  lebih  jauh  lagi  tentang keberadaan penulis kitab  tersebut. Namun al Fairuzzabady sendiri bukanlah orang yang tidak dikenal. Belaiu adalah pengarang kamus al Muhith yang  terkenal dan ahli dalam bidang  bahasa.  [11]
Pola  penafsiran  yang  ditampilkan  dalam  tafsir  ini memiliki  kesamaan dengan  penafsiran  yang  dilakukan  oleh  Imam  Jalaluddin  Assuyuthi  dalam  Tafsir  al Jalalain. Dalam kitab  tersebut, Mufassir   berupaya untuk menafsirkan dan menjelaskan  kalimat per kalimat, sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah.  Dilihat  dari  judul  kitab  tersebut,  maka  pembaca  digiring  kepada  sebuah kesimpulan,  bahwa  penafsiran  yang  dilakukan  di  dalam  kitab  ini  semuanya  mengacu kepada  penafsiran  Ibnu  Abbas.  Akan  tetapi  penulis  hanya  menemukan  dua  jalur periwayatan  yang  diungkapkan    pengarang  yang  dinisbahkan  kepada  Ibnu  Abbas. Sedangkan untuk surat-surat yang  lain, pengarang hanya menyebutkan kalimat (  وباسناده عن ابن عباس ) Wabi  isnadihi  an  ibni  Abbas.  Artinya  sanad  yang  diambil  sama  dengan sanad  yang  ada  dalam  surat  al  Fatihan  atau  surat  al  Baqarah.  Surat  yang  disebutkan sanadnya  secara  lengkap adalah  : Pertama, ketika  pengarang kitab menafsirkan  surat al Fatihah.  Dalam  menafsirkan  surat  tersebut,  al  Fairuzzabadi  menyebutkan  riwayat dengan  lengkap,  yaitu  dari  jalur  Abdullah  as  tsiqah  bin  al  Ma’mun  al  Harwi  dari  ayahnya, dari Abu Abdullah dari Abu Ubaidillah Mahmud bin Muhammad al Razi dari Ammar bin Abdul Majid al Harwi dari  Ishaq as Samarqandi, bin Marwan dari al Kalbi dari Abu saleh dari Ibnu Abbas.[12]  Sedangkan  dalam  menafsirkan  surat  al  Baqarah, penulis menyebutkan  jalur periwayatan dari  Abdullah bin al Mubarak dari Ali bin Ishaq as   Samarqandi dari Muhammad bin Marwan   dari al Kalbi dari Abu Sholeh dari  Ibnu Abbas. 
Selanjutnya  penulis  tidak  lagi  menemukan  jalur  periwayatan  lainnya  dalam menafsirkan surat-surat berikutnya. Oleh sebab  itu, apabila berpatokan kepada pendapat az  Zahabi  dan  Imam  SyafiiI  di  atas,  maka  semua  penafsiran  tersebut  bukanlah  murni pemikiran  Ibnu  Abbas  secara  utuh.  Apalagi  pengarang  tidak  mencantumkan  berbagai jalur  periwayatan  yang  merupakan  hal  yang  tidak  dapat  dipisahkan  dari  upaya  untuk menggali dan mengumpulkan berbagai periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas.  Dengan  demikian  meskipun  pengarang  tafsir  ini  menggiring  pembaca  ke  arah penafsiran  Ibnu  Abbas,  akan  tetapi  dengan  tidak  menampilkan  berbagai  bentuk periwayatan dengan jelas, maka akan menimbulkan pertanyaan, apakah semuanya adalah penafsiran Ibnu Abbas, atau penafsiran pengarang sendiri dengan mengusung nama Ibnu Abbas dalam karangannya. 
BAB III
  PENUTUP
Kesimpulan
Abdullah  bin Abbas  adalah  sosok  sahabat Rasul  yang  berani melakukan  ijtihad dalam  bidang  tafsir. Selain menerangkan makna  ayat-ayat  al Qur’an melalui  al Qur’an sendiri  atau melalui  hadits Nabi,  Ibnu  Abbas  juga  berupaya  untuk menggali makna  al Qur’an dari  syair-syair Arab kuno dan ahli kitab.  Ijtihad model  ini  sedikit banyak akan memberikan  inspirasi  kepada  kelompok  mufassir  bi  al  Ra’yi  untuk  mengembangkan penafsiran al Qur’an di kemudian hari. Dengan demikian,  pemikirannya membuka  dan  mengilhami  berkembangnya  dua macam  kelompok  penafsiran,  yaitu  penafsiran  dengan tradisi (bil ma’tsur) dan penafsiran menggunakan nalar (bil ra’yi).  Berbagai  buku  yang  berkaitan  dengan  Tafsir  Ibnu  Abbas  tidaklah  mewakili pemikiran tafsir Ibnu Abbas. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya riwayat Ibnu Abbas yang sampai kepada kita, dan jumlah riwayat tersebut hanya berada pada kisaran  ratusan saja.






KEPUSTAKAAN
Ali Ash-Shaabuuny, Muhammad. 1999, at-Tibyaan Fi Ulumil Qur’an, Terj. Pustaka Setia, Bandung.
az-Zhahabi, Muhammad Husein, 2005, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo.
Bastoni, Hepi Andi. 2002, 101 Sahabat Nabi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta
Fairuzzabadi, Abi Thahir bin Ya’qub, 2001, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Darul Fikr, Kairo.
Hitami Munzir, 2006, Menangkap Pesan-Pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru.
Khalil Qattan, Manna’. 2002, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Terj. Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta.
Shihab Quraisy, 2004, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung.




[1] . Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2004, hal.71
[2]. Muhammad Husein az-Zahabi, al-Tafsir wa al- Mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, 2005, jild I, hal.61
[3] Manna’ Khalil Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj, Litera AntarNusa, 1994. hal.523
[4] Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manahilul Irfan Fi Ulumil Qur’an, Daru ihyai al-Turast al-Araby, Beirut, T..thn. hal.344
[5] . Muhammad Husein az-Zahabi, op.cit. hal.63
[6] .Ibid.,p.63
[7] . Manna’ Khalil Qattan, op.cit. hal.522
[8] . Munzir Hitami, Menangkap Pesan-Pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006. hal.34
[9] . Muhammad az-Zarqani, op.cit. hal.343
[10] . Muhammad Husein az-Zahabi, op.cit, hal.62
[11] .Ibid,.
[12] .Abu Thahir ibn Ya’qub al-Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas Min Tafsir ibn Abbas, Darul Fikr,Beirut, 2001, hal. 1

2 komentar: