BAB I
PENDAHULUAN
Kitab al Qur’an
yang merupakan pusat
ajaran Islam telah
menjadi bahan pengkajian yang
tidak pernah kering.
Ia selalu digali
agar ditemukan berbagai mutiara dari dalam
kandungannya. Sepanjang perjalanan
sejarah al Qur’an,
berbagai kalangan telah
menumpahkan segenap waktu, tenaga dan fikirannya untuk selalu dapat
berinteraksi dengan kalam yang mulia tersebut. Semakin intens perhatian yang diarahkan kepadanya,
semakin besar daya tarik
yang ia pancarkan dan daya
tarik tersebut tidak pernah habis dan selalu tampak
menarik bagaikan kilauan sudut permata yang begitu indah.
Salah
satu jenis kajian yang
terus berkembang seiring perjalanan waktu adalah kajian tafsir yang boleh dikatakan sama
tuanya dengan usia al Qur’an sejak ia
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW 14 Abad yang lalu. Dalam setiap
kurun waktu tertentu, cabang ini telah
menghasilkan pemikir-pemikir yang
brilian yang telah mampu menjelaskan berbagai macam makna yang dikandung oleh
Al Qur’an dan menghasilkan karya-karya besar. Karya-karya tersebut kelak akan
menjadi salah satu alat mediasi yang paling jitu untuk mudah memahami al Qur’an
dan menjadikannya pelita dalam kehidupan ini.
Tak pelak lagi, nama Abdullah bin Abbas atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Ibnu Abbas menjadi
salah satu nama
yang paling popular
dalam menafsirkan wahyu Allah tersebut. Kemampuan yang ia
miliki telah diakui oleh berbagai
kalangan, terutama kalangan sahabat-sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar
bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al Qur’an, pun menjadi salah
satu model yang
mengilhami ulama-ulama besar
dalam bidang tafsir
beberapa abad kemudian. Kota suci
Mekkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas yang juga
menghasilkan ulama-ulama besar
seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
Abdullah Ibnu Abbas Dan Pengaruh Pemikirannya
Dalam
Perkembangan Penafsiran Al-Qur’an
A.
Profil Ibnu Abbas.
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib
bin Hasyim bin Abdi Manaf al Qursyi al Hasyimi.[2] Beliau
adalah anak paman Rasul Abbas bin Abdul Muthallaib. Ibundanya adalah Lubabah al
Kubra binti al Harits bin Hazan al Hilaliyah. Ibnu Abbas
lahir di kota
Mekkah 3 tahun
sebelum Rasul Hijrah
ke kota Madinah. Kelahiran beliau
bertepatan dengan tahun
pemboikotan Bani Hasyim oleh orang-orang Quraisy.
Ibnu Abbas
selalu bersama Nabi di masa
kecilnya karena beliau
termasuk salah satu kerabat dekat nabi dan karena bibinya, Maimunah, adalah salah seorang istri Nabi.
Menurut Riwayat Bukhari, Ibnu
Abbas dididik
langsung oleh Rasul dan Rasul
meramalkan bahwa ia akan menjadi ahli Tafsir al Qur’an.
Pada tahun 36 H.
beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul
Haj. Ia
tidak berada di kota Madinah ketika Utsman terbunuh. Dalam pertikaian
antara Ali dan Muawiyah, Ibnu Abbas memihak kepada Ali. Di akhir usianya, Ibnu
Abbas mengalami kebutaan,.namun hal
itu tidak membuat
kendurnya semangat beliau
untuk menggali nilai-nila
yang terkandung di dalam al Qur’an serta
terus bersikap kritis terhadap
setiap perkembangan yang terjadi di tengah ummat pada masanya.
Ibnu Abbas wafat pada
tahun 68 Hijrah dalam usia 70 tahun. Beliau wafat di kota
Thaif dan dimakamkan di kota yang sama. Ibnu Abbas
diberi gelar al Bahr [3]
yang berarti Samudra. Hal itu
disebabkan karena betapa
dalam dan luas
ilmu yang ia
miliki. Kepakaran tersebut
disebabkan kehidupan ilmiah yang
selalu menghiasi hari-hari
beliau, di mana belajar dan mengajar adalah
kesibukan-kesibukan yang tidak
pernah beliau tinggalkan.
Beliau mengajarkan berbagai macam
ilmu kepada muruid-muridnya. Kadang-kadang
beliau mengajarkan Fiqh, atau
Ta’wil atau sejarah. Ubaidillah bin Abdullah pernah mengatakan: “ Tidaklah aku
menyaksikan orang alim yang duduk
bersama Ibnu Abbas kecuali ia
merendahkan diri terhadap Ibnu Abbas.
Dan tidaklah aku melihat orang yang bertanya kepada Ibnu
Abbas kecuali ia
akan mendapatkan ilmu
dari jawaban Ibnu
Abbas.” Hal itupun semakin ditopang
oleh ketidakterlibatan beliau
dalam percaturan politik
dan pemerintahan, [4]
kecuali hanya dalam
waktu yang sangat
sedikit, yaitu ketika
beliau ditugaskan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai Amir di kota Basrah.
Dengan kedalaman
ilmu tersebut berbagai
macam pujianpun diarahkan
kepada beliau, seperti yang disampaikan oleh Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas adalah ummat
Muhammad yang paling
tahu tentang apa
yang diturunkan kepada Muhammad. Thawus, salah seorang
Tabi’in pernah ditanya oleh al Laits bin Sulaiman : “Mengapa
engkau tinggalkan sahabat-sahabat senior dan
berguru kepada anak kecil ini (Ibnu Abbas). Thawus
menjawab, “Aku melihat 70
orang sahabat Rasul berselisih tentang
suatu urusan, akan tetapi semuanya
kembali kepada pendapat Ibnu Abbas.”
Luasnya ilmu yang
dimiliki oleh Ibnu Abbas,
tidaklah terjadi begitu
saja. Akan tetapi kepakaran tersebut
disebabkan oleh beberapa
hal yang amat
penting yang menghiasi perjalanan hidup beliau :
1. Do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah
ini menjadi bukti yang paling kuat
tentang kemampuan Ibnu
Abbas dalam menafsirkan dan memahami
kitab suci al Qur’an.
Menurut pengakuan Ibnu Abbas
Sendiri, Rasul pernah dua
kali mendoakan beliau. Do’a tersebut
adalah Allahum ‘allimhu al
hikmah dan allahumma faqqihhu
fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil.[5] Menurut ajaran
Islam, do’a yang
dipanjatkan oleh Rasul
adalah do’a yang mustajab
dan seluruh kehendak
Rasul di dalam
do’a tersebut dikabulkan oleh
Allah.
2. Ibnu Abbas
besar dalam lingkungan
rumah tangga kenabian,
di mana beliau
selalu hadir bersama Rasulullah
sejak kecil. Beliau selalu mendengar
banyak hal dari Rasul, dan
menyaksikan kejadian serta berbagai
peristiwa yang menyebabkan
turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan
beliau pernah dua
kali menyaksikan Malaikat Jibril
bersama dengan Nabi.[6]
3. Interaksi beliau
dengan para sahabat
senior sesudah wafatnya
Rasulullah. Dari sahabat-sahabat
senior tersebut, Ibnu Abbas
belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al
Qur’an seperti tempat-tempat
turunnya al Qur’an,
sebab-sebab turunnya ayat dan
lain sebagainya. Upaya
untuk belajar dan
bertanya tersebut diungkapkan oleh
Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku
ingin mendatangi salah satu
di antara mereka, maka aku
akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga
ia bangun tidur kemudian beliau
bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi.
4. Pengetahuan beliau
yang sangat luas
tentang bahasa Arab
terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan
puisi-puisi Arab kuno yang amat
berguna untuk mendukung pemahaman
beliau terhadap al Qur’an.
5. Kecerdasan otak
yang merupakan anugerah
Allah yang membuat
Ibnu Abbas mampu untuk
berijtihad dan berani
menerangkan berbagai hal
yang beliau anggap benar dalam
penafsiran al Qur’an.
Dengan pengetahuan yang
amat luas tersebut, maka Ibnu Abbas
selalu menjadi rujukan para sahabat
baik senior maupun
yunior untuk meminta
keterangan dan penjelasan tentang
maksud suatu ayat. Seperti kasus ketika Umar bin al Khattab bertanya maksud
ayat : ( ايود
احدكم ان تكون جنة من نخيل )
surat al Baqarah ayat 266. Maka
tidak seorangpun dari sahabat yang
mampu memberikan penjelasan
yang memadai tentang ayat
yang dimaksud. Pada
akhirnya Ibnu Abbas
berkata : Wahai
Amirul Mu’minin. Aku mendapatkan suatu pemahaman pada diriku tentang
ayat yang dimaksud. Ayat tersebut berisi perumpamaan yang dikemukakan Allah sehingga seolah-oleh Allah berkata : Apakah salah seorang di antara kalian menyukai pekerjaan orang-orang yang baik sepanjang
hidupnya namun ketika akan wafat ia
tutup agenda hidupnya yang baik tersebut
dengan mengerjakan pekerjaan orang-orang
yang sengsara. Sehingga pekerjaan tersebut merusak seluruh
amal kebajikannya. Kedalaman ilmu
tersebut pulalah pada akhirnya
kaum muslimin memberinya gelar sebagai Turjumanul
Qur’an, penafsir al-Qur’an.[7]
B.
Pemikiran Tafsir Ibnu Abbas.
Ibnu abbas
merupakan peletak dasar
dari teori penafsiran
yang banyak mengilhami model-model
penafsiran era berikutnya.
Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang
paling akurat baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan
mufassir bi al
ra’yi. Bahkan secara
tradisional beliau dipercaya
sebagai salah seorang tokoh yang
telah berhasil menanamkan embrio
Hermeneutika al Qur’an.[8]
Bagi kelompok
bi al ma’tsur
(penafsiran memalui tradisi)
Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al Qur’an
terbaik, dengan membiarkan al Qur’an salingmenjelaskan keterkaitan yang
saling berhubungan antara satu
ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al
Qur’an dengan al
Qur’an sendirilah yang
memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak
ditemukan penjelasan tersebut dari al Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits
Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi
al Qur’an juga
diyakini sebagai salah
satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup sulit untuk dipahami. Kedua cara
yang ditempuh oleh Ibnu Abbas
tersebut pada akhirnya menjadi standar baku
bagi kelompok penafsir al Qur’an bi al ma’tsur untuk masa selanjutnya.
Kelompok mufassir bi
al Ra’yi (Penafsiran
melalui nalar) juga
memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas,
bila keterangan sebuah makna ayat
tidak ia temukan di dalam al Qur’an atau dari hadits nabi, maka beliau
berupaya untuk merujuknya
kepada sair-sair Arab
kuno ataupun percakapan-percakapan
Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi. “Keluarnya” Ibnu
dari lingkaran al
Qur’an dan Hadits
Nabi tersebut adalah
sebuah keberanian dan merupakan
ijtihad dalam bentuk
lain. Dan tentunya
keberanian untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian
yang bersifat apriori, namun dilandasai
oleh niat dan keinginan yang
kuat untuk menyingkap
makna-makna terdalam dari
al Qur’an. Seperti yang
diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari
kata fathiru al samawaat ( فاطر السماوات), sampai suatu ketika beliau mendengar dua
orang Arab Badui tengah
bertikai masalah sebuah
sumur. Salah seorang
dari Arab Badui mengatakan :
ana Fathortuha (انا فطرتها ) (aku yang membuatnya).
Dengan adanya percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui maksud
dari kata :فاطر Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari
sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam, baik
dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani
seperti Ibnu Juraij. Namun sebagaimana
yang dikatakan oleh Husain
az Zahabi, bahwa
eksplanasi tersebut hanya
berkaitan dengan pambahasan yang sangat
terbatas dan adanya
kecocokan sejarah antara
al Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya.
Akan tetapi jika berseberangan dengan
keterangan al Qur’an atau bahkan bertentangan
dengan syari’at Islam, menurut Az Zahabi, Ibnu Abbas
tidak mempergunakan
penafsiran ahli kitab. Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber-sumber penafsiran dari selain al Qur’an dan
hadits nabi menjadi inspirasi penting bagi kalangan ahlu al ra’yi
untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu alternatif penafsiran al Qur’an.
Secara
eksplisit terungkap, Ibnu
Abbas memiliki kecenderungan
untuk menggunakan akal fikiran
yang jernih dalam menafsirkan ayat al
Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku penafsiran ayat dengan
ayat lainnya, atau ayat dengan
hadits Nabi. Beliau
berani berijtihad, dan
diakui oleh kalangan
sahabat. Contoh keberanian lain
tersebut adalah ketika
Ibnu Umar meminta
Ibnu Abbas untuk menafsirkan ayat ( اولم يرئ الذين كفروا ان السماوات والارض رتقا ففتقناهما). Dalam penafsirannya Ibnu
Abbas tidak merujuk kepada
al Qur’an maupun hadits
Nabi, akan tetapi merujuk
kepada pemikirannya sendiri.
Beliau mengatakan bahwa
langit dulu bersatu dengan bumi.
Yang dimaksud bersatu di sini langit tidak menurunkan hujan dan bumi tidak
menumbuhkan tanaman. Maka
Allah memisahkan keduanya
dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di
Bumi. Ibnu Umar menanggapi
penafsiran tersebut dengan
mengatakan : “Aku
begitu kagum dengan penafsiran Ibnu Abbas. Dan sekarang aku
tahu bahwa ia telah mendapatkan anugerah ilmu.” [9]Dengan demikian bibit-bibit
penafsiran dengan menggunakan
nalar telah dibangun oleh Ibnu
Abbas semenjak generasi kedua Ummat Islam. Meskipun Ibnu
Abbas telah memulai
upaya penafsiran menggunakan
rasio, namun
pemikirannya-pemikiran
tafsirnya belaum dibukukan
dalam bentuk kitab
tafsir yang sistematis. Untuk
mengetahui bentuk pemikiran belaiu, masih harus menggunakan sistem periwayatan.
Hal itu disebabkan oleh belum
berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik
pada saat itu. Untuk mengetahui pemikiran
tafsir ibnu Abbas, para
ulama telah menetapkan jalur
periwayatan yang akurat
dan memiliki tingkat
kebenaran maksimal.
Imam As
Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran” Ibnu
Abbas dalam bidang tafsir
memiliki jalur periwayatan
yang sangat banyak. Dan
riwayat yang paling baik adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari
Ibnu Abbas. Bahkan jalur periwayatan ini
telah diakui oleh
Imam Bukhari di
dalam kitab Sahihnya
apabila meriwayatkan hadits dari
Ibnu Abbas. Namun meskipun begitu, masih
ada sebagian kelompok yang
meragukan periwayatan langsung Ali bin
Abi Thalhah dari Ibnu Abbas.
Kelompok ini beranggapan bahwa Ali Bin Abi
Thalhah tidaklah mendengar langsung dari Ibnu
Abbas, akan tetapi
meriwayatkan pemikiran Ibnu
Abbas melalui perantaraan
Mujahid atau Said bin Jabir. Selain jalur Ali
bin Abi Thalhah,
juga terdapat jalur
lain yang juga
dianggap sebagai jalur yang
baik untuk mengetahui pemikiran
Ibnu Abbas. Jalur tersebut
adalah jalur periwayatan Qais
bin Atha’ bin Saib dari Said bin Jabir
dari Ibnu Abbas. Jalur periwayatan ini menurut Bukhori dan
Muslim adalah jalur yang sahih. Juga terdapat jalur periwayatan dari Ibnu
Ishaq dari Muhammad bin Abi
Muhammad dari Ikrimah
atau dari said bin Jabir dari Ibnu Abbas.
Namun jalur ini
menurut Ibnu Jarir al Thabari dan Abi
Hatim adalah jalur periwayatan yang
hasan, dan mereka juga menggunakan jalur ini dalam meriwayatkan
penafssiran-penafsiran dari Ibnu Abbas. Keberadaan Ibnu Abbas di Kota Mekkah telah menciptakan sebuah
konstelasi pemikiran Tafsir yang
brilian. Murid-murid beliau
dianggap sebagai pemuka-pemuka Tafsir yang mencerahkan. Ibnu
Taimiyah, seperti yang
diungkapkan As Suyuthi, mengatakan bahwa
orang yang paling
tahu tentang tafsir
adalah kelompok Mekkah, karena di
kota ini bermukim
Ibnu Abbas.
Murid-murid iIbnu Abbas
yang terkemuka dalam bidang
Tafsir adalah Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah,
Ikrimah, Said bin Jabir dan Thawus. Meskipun
pemikiran Ibnu Abbas yang
berkaitan dengan Tafsir lebih
banyak di pahami melalui jalur
periwayatan, akan tetapi
para ulama mencoba untuk memadukan berbagai pemikiran
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat
al Qur’an. Sebuah karya yang berada
di tangan penulis saat ini menunjukkan hal tersebut. Berbagai riwayat telah dikumpulkan sehingga menjadi sebuah
kitab yang menghimpun pemikiran
Ibnu Abbas dalam memahami al
Qur’an, mulai dari surat
al Fatihah sampai dengan
surat al Naas.
Kumpulan penafsiran tersebut
diberi judul (تنوير المقباس من
تفسير ابن عباس) Tanwirul Miqbas min
Tafsiri Ibni Abbas.
Riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan penafsiran al Qur’an
ini dikumpulkan oleh
Abi Thahir Muhammad bin
Ya’qub al Fairuzzabady
al Syafi’i.[10]
Menurut
az Zahabi, segala
sesuatu yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas
dalam tafsir ini hanya
melalui jalur periwayatan Muhammad bin Marwan as Suday al Shaghir dari
Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari
Ibnu Abbas. Secara pribadi, az Zahaby meragukan seluruh riwayat tersebut yang ada dalam tafsir
tersebut dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, sebagaimana keraguan yang juga
dialami oleh Imam Syafi’i. menurut as Syafi’I, riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan Ibnu Abbas dalam masalah tafsir hanya berjumlah ratusan. Artinya bila
riwayat tersebut meliputi seluruh
ayat al Qur’an yang berjumlah ribuan,
maka ada sebagian
yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
C.
Tafsir Ibnu Abbas.
Az
Zahabi mengungkapkan sebuah kitab
Tafsir yang dinisbahkan
kepaba Ibnu Abbas yang diberi
nama Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas.
Tafsir ini diterbitkan di
Mesir dan cetakan
lainnya berasal dari
Beirut. Dari cetakan aslinya,
kitab ini tidak memiliki kata
pengantar, sehingga tidak
dapat diselami lebih
jauh lagi tentang keberadaan penulis kitab tersebut. Namun al Fairuzzabady sendiri
bukanlah orang yang tidak dikenal. Belaiu adalah pengarang kamus al Muhith yang terkenal dan ahli dalam bidang bahasa.
[11]
Pola penafsiran yang
ditampilkan dalam tafsir
ini memiliki kesamaan
dengan penafsiran yang
dilakukan oleh Imam
Jalaluddin Assuyuthi dalam
Tafsir al Jalalain. Dalam kitab tersebut, Mufassir berupaya untuk menafsirkan dan
menjelaskan kalimat per kalimat,
sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal
ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah. Dilihat
dari judul kitab
tersebut, maka pembaca
digiring kepada sebuah kesimpulan, bahwa
penafsiran yang dilakukan
di dalam kitab
ini semuanya mengacu kepada penafsiran
Ibnu Abbas. Akan
tetapi penulis hanya
menemukan dua jalur periwayatan yang
diungkapkan pengarang yang
dinisbahkan kepada Ibnu
Abbas. Sedangkan untuk surat-surat yang
lain, pengarang hanya menyebutkan kalimat ( وباسناده عن ابن عباس ) Wabi isnadihi
an ibni Abbas.
Artinya sanad yang
diambil sama dengan sanad
yang ada dalam
surat al Fatihan
atau surat al
Baqarah. Surat yang
disebutkan sanadnya secara lengkap adalah : Pertama, ketika pengarang kitab menafsirkan surat al Fatihah. Dalam
menafsirkan surat tersebut,
al Fairuzzabadi menyebutkan
riwayat dengan lengkap, yaitu
dari jalur Abdullah
as tsiqah bin
al Ma’mun al
Harwi dari ayahnya, dari Abu Abdullah dari Abu
Ubaidillah Mahmud bin Muhammad al Razi dari Ammar bin Abdul Majid al Harwi
dari Ishaq as Samarqandi, bin Marwan
dari al Kalbi dari Abu saleh dari Ibnu Abbas.[12] Sedangkan dalam
menafsirkan surat al
Baqarah, penulis menyebutkan
jalur periwayatan dari Abdullah
bin al Mubarak dari Ali bin Ishaq as Samarqandi dari Muhammad bin Marwan dari al Kalbi dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas.
Selanjutnya penulis tidak
lagi menemukan jalur
periwayatan lainnya dalam menafsirkan surat-surat berikutnya.
Oleh sebab itu, apabila berpatokan
kepada pendapat az Zahabi dan
Imam SyafiiI di
atas, maka semua
penafsiran tersebut bukanlah
murni pemikiran Ibnu Abbas
secara utuh. Apalagi
pengarang tidak mencantumkan
berbagai jalur periwayatan yang
merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan
dari upaya untuk menggali dan mengumpulkan berbagai
periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas.
Dengan demikian meskipun
pengarang tafsir ini
menggiring pembaca ke
arah penafsiran Ibnu Abbas,
akan tetapi dengan
tidak menampilkan berbagai
bentuk periwayatan dengan jelas, maka akan menimbulkan pertanyaan,
apakah semuanya adalah penafsiran Ibnu Abbas, atau penafsiran pengarang sendiri
dengan mengusung nama Ibnu Abbas dalam karangannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abdullah bin Abbas adalah
sosok sahabat Rasul yang
berani melakukan ijtihad
dalam bidang tafsir. Selain menerangkan makna ayat-ayat
al Qur’an melalui al Qur’an
sendiri atau melalui hadits Nabi,
Ibnu Abbas juga
berupaya untuk menggali
makna al Qur’an dari syair-syair Arab kuno dan ahli kitab. Ijtihad model
ini sedikit banyak akan
memberikan inspirasi kepada
kelompok mufassir bi
al Ra’yi untuk
mengembangkan penafsiran al Qur’an di kemudian hari. Dengan demikian,
pemikirannya membuka dan mengilhami
berkembangnya dua macam kelompok
penafsiran, yaitu penafsiran
dengan tradisi (bil ma’tsur) dan penafsiran menggunakan nalar (bil
ra’yi). Berbagai buku
yang berkaitan dengan
Tafsir Ibnu Abbas
tidaklah mewakili pemikiran
tafsir Ibnu Abbas. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya riwayat Ibnu Abbas
yang sampai kepada kita, dan jumlah riwayat tersebut hanya berada pada
kisaran ratusan saja.
KEPUSTAKAAN
Ali Ash-Shaabuuny, Muhammad. 1999, at-Tibyaan
Fi Ulumil Qur’an, Terj. Pustaka Setia, Bandung.
az-Zhahabi, Muhammad Husein, 2005, at-Tafsir
wa al-Mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo.
Bastoni, Hepi Andi. 2002, 101 Sahabat Nabi, Pustaka al-Kautsar,
Jakarta
Fairuzzabadi, Abi Thahir bin Ya’qub, 2001, Tanwir
al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Darul Fikr, Kairo.
Hitami Munzir, 2006, Menangkap Pesan-Pesan Allah, Suska Press,
Pekanbaru.
Khalil Qattan, Manna’. 2002, Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Terj. Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta.
Shihab Quraisy, 2004, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung.
[1] . Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Mizan, Bandung, 2004, hal.71
[2]. Muhammad Husein az-Zahabi, al-Tafsir
wa al- Mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, 2005, jild I, hal.61
[3] Manna’ Khalil Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, Terj, Litera AntarNusa, 1994. hal.523
[4] Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manahilul
Irfan Fi Ulumil Qur’an, Daru ihyai al-Turast al-Araby, Beirut, T..thn.
hal.344
[5] . Muhammad Husein az-Zahabi, op.cit.
hal.63
[6] .Ibid.,p.63
[7] . Manna’ Khalil Qattan, op.cit. hal.522
[8] . Munzir Hitami, Menangkap Pesan-Pesan
Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006. hal.34
[9] . Muhammad az-Zarqani, op.cit. hal.343
[10] . Muhammad Husein az-Zahabi, op.cit,
hal.62
[11] .Ibid,.
[12] .Abu Thahir ibn Ya’qub al-Fairuzzabadi, Tanwirul
Miqbas Min Tafsir ibn Abbas, Darul Fikr,Beirut, 2001, hal. 1
trima kasih y
BalasHapustulisan tentang ..penyelenggaraan shalat jenazah ada tak..lo da ..minta..,y..broo..
BalasHapus