Pendahuluan
Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang
berhubungan dengan keyakinan dan keraguan.
Keyakinan dan keraguan adalah dua sisi yang berbeda, besar keyakinan
akan bervariasi sesuai dengan lemah kuatnya tarikan yang satu dengan yang
lainnya.
Kaidah yang dimaksud adalah:
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“sesuatu
yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan”
a.
Pengertian
Para ulama fuqoha selalu dan acap kali membicarakan,
menyebut-nyebutnya, sebab hampir tiga perempat hukum fikih ditakhrijkan dari
kaidah ini.
Kaidah terdiri dari dua macam sisi yang berbeda yaitu yakin dan
syak. Tentunya sebelum mendalam kita membahas baiknya diketahui sebelumnya
pengertian dari dua kata tersebuat. Yakin adalah:
هو ما
كان ثابتا باانظر أوالدليل
“sesuatu yang menjadi tetap dengan cara penglihatan atau dengan
adanya dalil”[1]
Sedangkan yang dimaksud dengan ragu (الشك) ialah:
هو ماكان مترددا بين الثبوت وعدمه مع تساوي طرفي الصواب و الخطاء دون
ترجيح احدهما على الاخر
“Sesuatu
pertentangan antara tetap dan tidaknya, dimana pertentangan tersebut sama
antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat ditarjihkan salah satunya”
b.
Pengambilan
(dasar) hokum:
Hadis Nabi SAW:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا
أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
”jika salah
seorang diantara kamu ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa raka’at ia
telah shalat, apakah mengerjakan tiga atau empat raka’at maka hilangkanlah
keragu-raguan itu dan tetapkanlah dengan apa yang meyakinkan”
(H.r. muslim).
وَعَبَّادِ
بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ
قَالَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“dilaporka kepada nabi SAW tentang seorang lak—laki yang selalu merasa
hadas dalam shalatnya. Maka Nabi SAW menjawab: jangan bathalkan shalat sehingga
mendengar suara (kentut) atau mencium baunya” (H.r. muslim)
c.
Uraian
Kaidah
Dari batasan (pengertian
yakin) diatas dapat di fahamkan, bahwa seseorang dapat dikatakan telah meyakini
terhadap sesuatu perkara, manakala terhadap perkara itu telah ada
bukti/keterangan yang di tetapkan oleh panca indera atau dalil. Seperti orang
yang merasa hadas dalam wudhu’nya dapat diyakinkan hadasnya itu dengan adanya
angin yang keluar dari dubur yang dapat dirasakan oleh kulit, dapat di dengar
suaranya oleh telinga dan dapat dicium baunya oleh hidung.[2]
Selanjutnya dari
dapat kita simpulkan juga apabila seseorang telah meyakini terhadap sesuatu
perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan
keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu). Seperti orang yang berwudhu’, kemudian
datang keraguan apakah ia telah berwudu’ atau tidak, diyakini masih ada wudhu’
danbelum berhadas.[3]
Walaupun demikian halnya
adnya pengecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya wanita yang sedang
menstruasi yang meragukan, apakah ia sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib
mandi besar untuk shalat. Dan juga seorang yang ragu apakah ia keluar mani atau
mazdi. Maka ia wajib mandi besar. Sesungguhnya contoh-contoh ini menunjukkan
kepada kehati-hatian (ihthiyathi) dalam melakukan ibadah. Sehingga
mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh
dan mazhab Syafi’i menyebut 11 macam contoh.[4]
Sedangkan
materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah (اليقين
لا يزال بالشك) , tidak kurang dari 314 masalah fikih.[5]
Disekian luasnya penjabaran kaidah ini mazhab Maliki dan Syafi’I tidak mau
mengambilnya karena mengambil konsep ihthiyatinya karena ibadah membutuhkan
kepastian dan kepuasan bathin.[6] Ulama malikiyah beralasan, bahwa seseorang
tidak tidak bisa lepas dari tuntunan ibadah kecuali dengan melaksanakannya
secara benar dan meyakinkan, seperti shalat misalnya shalat yang sah hanya bisa
dilaksanakan dengan whudu’ yang sah.
Ibnu Qayyim al-Jauzi
menambahkan:”Perlu diketahui bahwa di dalam syari’at tidak ada sama sekali yang
meragukan. Sesungguhkan keraguan itu dating dari mukallaf (subjek hukum).[7]
Oleh karena itu, menurutnya kaidah yang berhubungan dengan istishab didalam
ushul fikih sesungguhnya lebih tepat dimasukkan ke dalam kaidah-kaidah fikih,
buksn kedalam kaidah ushul. Selain itu, istishab itu pada zatnya bukam dalil
fikih dan bukan pula sumber istinbat, tetapi menetapkan hokum yang telah ada
untuk terus berlaku sampai ada yang mengubahnya.[8]
Mengenai
keragu-raguan ini Imam asy-Syaikh Abu Hamid al-Asfiraini membagi kepada tiga
macam:[9]
1.
Keraguan
yang berasal dari haram
2.
Keragu-raguan
yangberasal dari mubah
3.
Keragu-raguan
atas sesuatu yang tidak diketahui asalnya.
Perlu kita ketahuim bahwa keraguan (syak) dan sangkaan (dhan) itu
pengaruhnya sama. Misalnya seseorang bertamu ke rumah temannya. Kemudian
setelah sampai di rumahnya, rumah tersebut tertutup, lalu timbul dalam
fikirannya bahwa “ temannya ini boleh jadi pergi dan mungkin sebaliknya ia
sedang tidur”, hal seperti ini disebut syak. Tetapi kemungkinan besar ia masih
berada di rumah sebab kenderaannya ada di depan rumahnya, hal ini disebut
dengan sangkaan (dhan).[10]
d.
Kaidah
Lanjutan
Dari kaidah-kaidah asasi diatas muncul beberapa kaidah yang lebih
sempit ruang lingkupnya:
1.
”apa yang yakin bisa
hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”[11]
Kita yakin sudah
berwudu’, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu’
kita menjadi batal.
2.
أن ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan lagi”[12]
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus
tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf seseorang ragu apakah yang ia
lakukan putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah kelima,
karena putaran kelima itulah yang meyakinkan.
3.
الأصل براءة الذمة
”hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Makan dan minum
asalnya dibolehkan sampai datangnya dalil yang melarang makan makanan dan minum
minuman yang diharamkan. Seseorang bebas dari tanggung jawab sebagai dosen,
sampai dia diangkat dan berfungsi sebagai dosen. Demikian seterusnya sampai ada
hal yang mengubahnya. Oleh karena itu muncul kaidah lain:
4.
الأصل بقاء ماكان على ما
كان مالم يكن مت يغيره
“hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal
lain yang mengubahnya”
Dalam kasusu
diatas, unsure yang mengubah keadaan itu, hadis-hadis yang melarang makan dan
minum dan SK dalam jabatan tertentu. Keadaapun biasa berobah lagi, biala ada
unsur lain yang mengubahnya dan begitulah seterusnya.
5.
الأصل العدم
“hokum asal adalah ketiadaan”
Lebih jelas lagi:
الأصل
فى الصفات العارضة العدم
“hokum
asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”[13]
Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang
cacat barang yang diperjual belikan, maka dianggap adalah perkataan si penjual,
karena pada asalnya cacat itu tidak ada. Ada juga pendapat. Karena hokum
asalnya adalah akad jual beli sudah terjadi. Sudah tentu ada pengecualian yaitu
apabila si pembeli member bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah
ada ketika barang itu masih berada di tangan si penjual.
6.
الصل إضافة الحادث إلى اقرب أوقاته
“hokum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang
lebih dekat kejadiaannya”
Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya,
kemudian keluarlah bayi dalam keadaan sehat hidup dan sehat. Selang beberapa
bulan, bayi tersebut meninggal. Maka, meninggalnya bayi itu tidak dapat
disanrkan kepada pemukulkan perut ibunya yang terjadi pada waktu yang telah
lama, tetapi sisebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada
kematiannya.
7.
الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“hokum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil
yang menunjukkan keharamanany”
8.
الأصل فى الكلام الحقيقة
“hokum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”
Apabiala seseorang berkata: saya wakafkan harta saya kepada anak kiyai
Bustomi. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan
anak pungut dan bukan juga anak cucu. Demikian juga kata-kata hibah, jual beli,
gadai dan lain-lain dalam akad, harus diartikan dahulu dengan atri kata yang
sebenarnya, bukan arti kiasan.
9.
لا عبرة فى الظن الذي يظهر خطاءه
“tidak dianggap (diakui) prasangkayang jelas salahnya”
Apabila seorang
debitor telah membayar utangnya kapada kreditor, kemudian wakil debitor
membayar lagi utang debitor atas sangkaan bahwa utang belum dibayar, maka wakil
debitor berhak meminta dikembalikan utang yang dibayarkannya, karena pembayaran
dilakukan atas dasar prasangkaan yang jelas salahnya.
10. لا عبرة للتوهم
"tidak diakui adanya waham (kira-kira)”
Apabila seseorang meninggal meninggalkan sejumlah ahli waris, maka
harta warisan dibagikan kepada mereka. Tidak diakui ahli waris yang
dikira-kirakan adanya.
Daftar Pustaka
Asjmuni
a. Rahman, Qaidah-Qa’idah Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta: tth
Qawa’id
al-Fiqhiyah, Imam Musbikin, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta:tth
A.
Djazuli,
Kaidah-Kaidah Fikih, Kencana, Jakarta:2006
Jaih
Mubarok, Kaida Fiqih, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002
[1]Imam
Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, ( PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta:2003) Hal. 51
[2]Asjmuni
a. Rahman, Qa’idah-Qaidah Fiqih ( Bulan Bintang, Jakarta:Tth) Hal. 141
[3]Opcit.
Hal. 52
[4]Ibid.
hal 45
[5]Ibid
[6]Ibid
[7]Muhammad
al-Ruki. Hal. 187
[8]Opcit
. hal. 47
[9]Opcit
.hal. 52
[10]Ibid
hal. 53
[11]A.
Djazuli. Kaidah-kaidah fikih, (Putra Grafika, Jakarta:2006) hal.47
[12]Ibid
hal. 48
[13]Ibid
hal. 49
Ass. Salam kenal. artikel-artikel antum sangat bagus dan bermanfaat untuk semua orang, khususnya bagi yang mengkaji ilmu istinbath al-ahkam. ilmu ushul fikih ini sangat penting, bahkan merupakan jantungnya ilmu kesyari'ahan. tanpa ilmu ushul fikih, kita kesulitan menggali dan menjawab permasalahan-permasalahan hukum islam kontemporer. terima kasih, sudi kiranya berkunjung, mohon pula di back link- ya..
BalasHapus