Jumat, 27 April 2012

USHUL FIKIH


Pendahuluan
Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan keraguan.  Keyakinan dan keraguan adalah dua sisi yang berbeda, besar keyakinan akan bervariasi sesuai dengan lemah kuatnya tarikan yang satu dengan yang lainnya. 
Kaidah yang dimaksud adalah:
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
          sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan”
a.       Pengertian
Para ulama fuqoha selalu dan acap kali membicarakan, menyebut-nyebutnya, sebab hampir tiga perempat hukum fikih ditakhrijkan dari kaidah ini.
Kaidah terdiri dari dua macam sisi yang berbeda yaitu yakin dan syak. Tentunya sebelum mendalam kita membahas baiknya diketahui sebelumnya pengertian dari dua kata tersebuat. Yakin adalah:
هو ما كان ثابتا باانظر أوالدليل
            “sesuatu yang menjadi tetap dengan cara penglihatan atau dengan adanya dalil”[1]
            Sedangkan yang dimaksud dengan ragu (الشك) ialah:
 هو ماكان مترددا بين الثبوت وعدمه مع تساوي طرفي الصواب و الخطاء دون ترجيح احدهما على الاخر
                “Sesuatu pertentangan antara tetap dan tidaknya, dimana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat ditarjihkan salah satunya”
b.      Pengambilan (dasar) hokum:
Hadis Nabi SAW:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
            jika salah seorang diantara kamu ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa raka’at ia telah shalat, apakah mengerjakan tiga atau empat raka’at maka hilangkanlah keragu-raguan itu dan tetapkanlah dengan apa yang meyakinkan”
(H.r. muslim).

 وَعَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
            “dilaporka kepada nabi SAW tentang seorang lak—laki yang selalu merasa hadas dalam shalatnya. Maka Nabi SAW menjawab: jangan bathalkan shalat sehingga mendengar suara (kentut) atau mencium baunya” (H.r. muslim)
           
c.       Uraian Kaidah            
Dari batasan (pengertian yakin) diatas dapat di fahamkan, bahwa seseorang dapat dikatakan telah meyakini terhadap sesuatu perkara, manakala terhadap perkara itu telah ada bukti/keterangan yang di tetapkan oleh panca indera atau dalil. Seperti orang yang merasa hadas dalam wudhu’nya dapat diyakinkan hadasnya itu dengan adanya angin yang keluar dari dubur yang dapat dirasakan oleh kulit, dapat di dengar suaranya oleh telinga dan dapat dicium baunya oleh hidung.[2]
            Selanjutnya dari dapat kita simpulkan juga apabila seseorang telah meyakini terhadap sesuatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu). Seperti orang yang berwudhu’, kemudian datang keraguan apakah ia telah berwudu’ atau tidak, diyakini masih ada wudhu’ danbelum berhadas.[3]       
            Walaupun demikian halnya adnya pengecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya wanita yang sedang menstruasi yang meragukan, apakah ia sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat. Dan juga seorang yang ragu apakah ia keluar mani atau mazdi. Maka ia wajib mandi besar. Sesungguhnya contoh-contoh ini menunjukkan kepada kehati-hatian (ihthiyathi) dalam melakukan ibadah. Sehingga mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh dan mazhab Syafi’i menyebut 11 macam contoh.[4]
            Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah (اليقين لا يزال بالشك) , tidak kurang dari 314 masalah fikih.[5] Disekian luasnya penjabaran kaidah ini mazhab Maliki dan Syafi’I tidak mau mengambilnya karena mengambil konsep ihthiyatinya karena ibadah membutuhkan kepastian dan kepuasan bathin.[6]  Ulama malikiyah beralasan, bahwa seseorang tidak tidak bisa lepas dari tuntunan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan meyakinkan, seperti shalat misalnya shalat yang sah hanya bisa dilaksanakan dengan whudu’ yang sah.
            Ibnu Qayyim al-Jauzi menambahkan:”Perlu diketahui bahwa di dalam syari’at tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhkan keraguan itu dating dari mukallaf (subjek hukum).[7] Oleh karena itu, menurutnya kaidah yang berhubungan dengan istishab didalam ushul fikih sesungguhnya lebih tepat dimasukkan ke dalam kaidah-kaidah fikih, buksn kedalam kaidah ushul. Selain itu, istishab itu pada zatnya bukam dalil fikih dan bukan pula sumber istinbat, tetapi menetapkan hokum yang telah ada untuk terus berlaku sampai ada yang mengubahnya.[8]
            Mengenai keragu-raguan ini Imam asy-Syaikh Abu Hamid al-Asfiraini membagi kepada tiga macam:[9]
1.      Keraguan yang berasal dari haram
2.      Keragu-raguan yangberasal dari mubah
3.      Keragu-raguan atas sesuatu yang tidak diketahui asalnya.
Perlu kita ketahuim bahwa keraguan (syak) dan sangkaan (dhan) itu pengaruhnya sama. Misalnya seseorang bertamu ke rumah temannya. Kemudian setelah sampai di rumahnya, rumah tersebut tertutup, lalu timbul dalam fikirannya bahwa “ temannya ini boleh jadi pergi dan mungkin sebaliknya ia sedang tidur”, hal seperti ini disebut syak. Tetapi kemungkinan besar ia masih berada di rumah sebab kenderaannya ada di depan rumahnya, hal ini disebut dengan sangkaan (dhan).[10] 
d.      Kaidah Lanjutan
Dari kaidah-kaidah asasi diatas muncul beberapa kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya:
     
1.       
      ”apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”[11]
      Kita yakin sudah berwudu’, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu’ kita menjadi batal.
2.      أن ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”[12]
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf seseorang ragu apakah yang ia lakukan putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah kelima, karena putaran kelima itulah yang meyakinkan.
3.      الأصل براءة الذمة
”hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
            Makan dan minum asalnya dibolehkan sampai datangnya dalil yang melarang makan makanan dan minum minuman yang diharamkan. Seseorang bebas dari tanggung jawab sebagai dosen, sampai dia diangkat dan berfungsi sebagai dosen. Demikian seterusnya sampai ada hal yang mengubahnya. Oleh karena itu muncul kaidah lain:
4.       الأصل بقاء ماكان على ما كان مالم يكن مت يغيره
“hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”
            Dalam kasusu diatas, unsure yang mengubah keadaan itu, hadis-hadis yang melarang makan dan minum dan SK dalam jabatan tertentu. Keadaapun biasa berobah lagi, biala ada unsur lain yang mengubahnya dan begitulah seterusnya.
5.      الأصل العدم
“hokum asal adalah ketiadaan”
Lebih jelas lagi:
الأصل فى الصفات العارضة العدم
“hokum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”[13]
Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang cacat barang yang diperjual belikan, maka dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada. Ada juga pendapat. Karena hokum asalnya adalah akad jual beli sudah terjadi. Sudah tentu ada pengecualian yaitu apabila si pembeli member bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang itu masih berada di tangan si penjual.
6.      الصل إضافة الحادث إلى اقرب أوقاته
“hokum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiaannya”
            Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalam keadaan sehat hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi tersebut meninggal. Maka, meninggalnya bayi itu tidak dapat disanrkan kepada pemukulkan perut ibunya yang terjadi pada waktu yang telah lama, tetapi sisebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiannya.
7.      الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“hokum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamanany”
8.      الأصل فى الكلام الحقيقة
“hokum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”
            Apabiala seseorang berkata: saya wakafkan harta saya kepada anak kiyai Bustomi. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan juga anak cucu. Demikian juga kata-kata hibah, jual beli, gadai dan lain-lain dalam akad, harus diartikan dahulu dengan atri kata yang sebenarnya, bukan arti kiasan.
9.      لا عبرة فى الظن الذي يظهر خطاءه
tidak dianggap (diakui) prasangkayang jelas salahnya”
            Apabila seorang debitor telah membayar utangnya kapada kreditor, kemudian wakil debitor membayar lagi utang debitor atas sangkaan bahwa utang belum dibayar, maka wakil debitor berhak meminta dikembalikan utang yang dibayarkannya, karena pembayaran dilakukan atas dasar prasangkaan yang jelas salahnya.
10.  لا عبرة للتوهم
"tidak diakui adanya waham (kira-kira)”
            Apabila seseorang meninggal meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan kepada mereka. Tidak diakui ahli waris yang dikira-kirakan adanya.


  

Daftar Pustaka

Asjmuni a. Rahman, Qaidah-Qa’idah Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta: tth
Qawa’id al-Fiqhiyah, Imam Musbikin, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta:tth
A.    Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Kencana, Jakarta:2006
Jaih Mubarok, Kaida Fiqih, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002



[1]Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, ( PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:2003) Hal. 51
[2]Asjmuni a. Rahman, Qa’idah-Qaidah Fiqih ( Bulan Bintang, Jakarta:Tth) Hal. 141
[3]Opcit. Hal. 52
[4]Ibid. hal 45
[5]Ibid
[6]Ibid  
[7]Muhammad al-Ruki. Hal. 187
[8]Opcit . hal. 47
[9]Opcit .hal. 52
[10]Ibid hal. 53
[11]A. Djazuli. Kaidah-kaidah fikih, (Putra Grafika, Jakarta:2006) hal.47
[12]Ibid hal. 48
[13]Ibid hal. 49

1 komentar:

  1. Ass. Salam kenal. artikel-artikel antum sangat bagus dan bermanfaat untuk semua orang, khususnya bagi yang mengkaji ilmu istinbath al-ahkam. ilmu ushul fikih ini sangat penting, bahkan merupakan jantungnya ilmu kesyari'ahan. tanpa ilmu ushul fikih, kita kesulitan menggali dan menjawab permasalahan-permasalahan hukum islam kontemporer. terima kasih, sudi kiranya berkunjung, mohon pula di back link- ya..

    BalasHapus