MUHAMMAD MUSTAFA AZAMI
DAN METODE OTENTIFIKASI
HADIS
A. Biografi Muhammad Mustafa Azami
Muhammad Mustafa Azami
lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932.
Ayahnya sangat tidak menyukai penjajahan dan bahasa Inggris, dan ini
berpengaruh pada pendidikan Azami, ketika sekolah di SLTA, ayahnya meminta
pindah ke sekolah islam berbahasa Arab. Di sekolah ini lah beliau mulai
mempelajari hadis. Azami menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1952 di College of
Science di Deoband, perguruan tinggi terbesar di India yang mengajarkan studi
islam. Tahun 1955 beliau berhasil menyesaikan studi di Fakultas Bahasa Arab
Jurusan Tadris, Universitas Al-Azhar Cairo, dengan ijazah al-‘Alimiyah.
Perjalanan kariernya
pada tahun 1957-1968 menjabat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional di
Qatar, sepat berstudi di Universitas Cambridge, Inggris dan mendapat gelar Ph.
D, karya disertasinya berjudul Studies in Early Hadits Literature. Tahun
1968 menjadi dosen di Pascasarjana jurusan Syariah dan Studi Islam Universitas
King ‘Abd al-‘Aziz Mekah, yang sekarang sudah berganti nama menjadi Universitas
Umm al- Qura. Sejak tahun 1973 beliau berdomisili di Riyadh dan mengajar di
Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Puncak
kariernya ketika memenangkan Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam
dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal Riyadh pada tahun 1980 M/1400 H.[1]
B. Metode Otentifikasi Hadis
Menurut Prof. Azami, apabila berbicara
mengenai Hadis Nabi, maka kita juga perlu mengkaji sikap al-Qur`an terhadap
hadis, serta sejauh mana hadis memperoleh perhatiannya. Apabila keluhuran nilai
hadis dan kedudukannya dalam islam sudah ketahui, maka kita perlu mengkaji
cara-cara yang ditempuh kaum muslimin dalam memelihara hadis tersebut.[2]
Ayat-ayat al-qur`an banyak memberikan penjelasan
tentang peran dan kedudukan hadis dalam islam. informasi yang didapat dari
al-qur`an antara lain:
Surat al-Nahl ayat 44, berisikan tentang
peran dari Rasulullah sebagai mubayyin, untuk memberikan penjelasan bagi
umat manusia atas al-qur`an,[3]
berbunyi:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9
$tB tAÌhçR
öNÍkös9Î)
öNßg¯=yès9ur
crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Sebagai contoh, al-qur`an memerintahkan
kita untuk melakukan salat, tetapi tidak menjelaskan secara detail cara salat.
Rasulullah bertugas mendemontrasikan salat baik secara praktik maupun lisan.[4]
Dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan
al-qur`an serta keterbatasan manusia dalam memahami petunjuk al-qur`an, nabi
Muhammad saw mendapat legitimasi dari Allah untuk menjelaskan dan merinci
ayat-ayat al-qur`an dan menjawab serta menyelesaikan permasalahan umat yang
tidak ditemukan jawabannya di dalam al-qur`an.
!$tBur
ãNä39s?#uä
ãAqߧ9$#
çnräãsù $tBur
öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
“....
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah...” (QS. al-Hasyr: 7)[5]
Metode yang digunakan oleh para ahli
hadis dalam menetapkan otentisitas hadis adalah dengan meneliti sanad dan matan
hadis. Untuk dapat memahami metodologi yang mereka gunakan, terebih dahulu
harus memahami pengetahuan dasar seputar hadis.[6]
Dalam bukunya yang berjudul Hadis
Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, sebelum membahas tentang sejauh mana
hadis dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, M. M. Azami juga menjelaskan
tentang kapan penulisan hadis dimulai, membahas cara penyebaran hadis dan
permasalahan sanad hadis, yang mana hal-hal tersebut merupakan bukti historis
dari keotentikan hadis.
1.
Penulisan
Hadis Nabawi
Pendapat yang dominan di kalangan
sarjana dan ilmuwan adalah hadis-hadis hanya disebarkan melalui lisan sampai
akhir abad pertama hijriah. Sedangkan yang pertama kali mempunyai ide untuk
menulis hadis adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana beliau mengirim surat
kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, yang mengatakan, “Periksalah dan
tulislah semua hadis-hadis Nabi, atau hadis tentang umrah; karena saya khawatir
hal itu akan punah. Khalifah memberikan tugas kepada Ibnu Syihab al-Zuhri untuk
mengumpulkan dan menuliskan hadis.[7]
Ibnu Syihablah yang pertama melaksanakan instruksi tersebut, sehingga ia
dikenal sebagai orang pertama yang melakukan kodifikasi hadis.[8]
Tentang al-Zuhri sebagai orang pertama
yang menulis hadis, para orientalis berbeda pendapat, Muir menerima pendapat
tersebut dan memberi komentar bahwa sebelum pertengahan abad kedua belum ada
kumpulan tulisan hadis yang dapat diandalkan. Sedangkan Guillaume mengatakan, pendapat
bahwa al-Zuhri sebagai orang pertama yang menulis hadis adalah palsu.[9]
Ibnu hajar menyebutkan hadis nabi belum
disusun atau dibukukan pada masa sahabat dan tabiin karena adanya dua faktor.
Pertama, semula mereka memang dilarang
menulis hadis seperti tersebut dalam shahih Muslim karena khawatir
bercampur dengan al-qur`an.
ﻻﺗﻛﺗﺑﻭﺍ ﻋﻨﻰ
ﻭ ﻣﻥ ﻛﺗﺐ
ﻋﻨﻰ ﻏﻳﺮ ﺍﻟﻗﺮﺁﻥ
ﻓﻟﻳﻣﺤﻪ
“Janganlah
kalian menulis sesuatu dariku, dan siapa saja yang telah menulis dariku selain
Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya”.[10]
Ada berbagai pendapat tentang hadis ini,
sebagian ulama mengatakan bahwa hadis ini membatalkan pembolehkan menulis
hadis, sehingga para sahabat hanya mengingat dan meriwayatkan hadis melalui
hafalan, adapula yang berpendapat bahwa meskipun penulisan hadis dilarang namun
ada hak istimewa yang diberikan kepada sahabat sehingga dibolehkan untuk tetap
menulis hadis Nabi saw, sebagaimana izin yang diberikan kepada Abdullah bin
Amr. Larangan penulisan tersebut dikarenakan adanya kekhwatiran akan
bercampurnya hadis dengan ayat al-qur`an, tetapi ketika kekhawatiran itu sudah
tidak ada lagi, apalagi setelah al-qur`an selesai dibukukan, penulisan hadis
pun dilakukan kembali. Terlepas dari perbedaan pendapat ini, adanya hadis yang
ditulis oleh Abdullah bin Amr sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
merupakan bukti bahwa penulisan hadis sudah ada sejak masa Nabi saw.
Kedua, hafalan mereka sangat kuat dan
otak mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru
pada akhir masa tabiin, hadis-hadis dibukukan dan disusun. Orang yang pertama
kali melakukannya adalah al-Rabi’ bin Shabih, Said bin ‘Arubah dan lain-lain.
Sampai pada generasi ketiga, Imam malik menyusun kitab hadis berdasar metode
penyusunan kitab-kitab hukum fikih bernama kitab al-Muwatta.[11]
Pendapat Ibnu Hajar ini disanggah oleh
Azami, sebagai berikut:
a. “Kebanyakan mereka tidak dapat menulis”,
Penguasaan tulis menulis dikalangan sahabat tidak seminin yang digambarkan,
sebagaimana hadis yang berbunyi “jangan kalian tulis yang kuucapkan, selain
al-qur`an”. Kalau sahabat tidak bisa menulis tentu tidak ada larangan tersebut.
Banyaknya jumlah sekretaris Nabi dan adanya sistem administrasi negara pada
masa Khulafa Rasyidin menuntut adanya penulis yang handal. Meskipun kebanyakan
tidak bisa menulis, namum yang mengetahui tulis menulis bukan berarti sedikit,
justru tetap banyak dan itu sudah cukup. Sahabat tersebut antara lain; Abdullah bin Amr, Rafi’ bin Khadij,[12]
Abu Ayyub al-Ansari (Khalid bin Zaid) w. 52 H, beliau menulis beberapa hadisn
nabi untuk dikirim kepada keponakannya. Abu Bakrah al-Tsaqafi (Nufai’ bin
Masruh) w. 51 H, menulis surat yang mengutip beberapa hadis tentang peradilan kemudian
dikirim kepada anaknya yang menjadi hakim.[13]
Bahkan Ibnu Mas’ud, Abu Darda, dan Abu Dzar sempat ditahan pada masa Khalifah
Umar Karena terlibat dalam penulisan hadis.[14]
b. “Adanya larangan dari Nabi untuk menulis
hadis”. Larangan tersebut hanyalah khusus untuk penulisan hadis bersama
al-qur`an dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi
percampuran antara hadis dan al-qur`an. Dengan alasan Nabi pernah mengimlakan
hadisnya kepada sejumlah sahabat, dan Nabi pernah mengirim ratusan surat kepada
para gubernur, sesudah diimlakan. Surat-surat itu meskipun berisi aturan-aturan
administrasi, namun hal itu tetap diakui sebagai hadis.[15]
Di pihak lain Nabi juga mengizinkan sahabat untuk menulis hadis-hadisnya.
Seperti yang dituturkan oleh Abu Hurairah:
ﺤﺪﺛﻧﺎ ﻋﻟﻲ
ﺒﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ
ﻗﺎﻞ ﺤﺪﺛﻧﺎ ﺴﻓﻴﺎﻦ
ﻗﺎﻞ ﻋﻣﺮﻮ ﻗﺎﻞ
ﺃﺨﺒﺮﻧﻲ ﻮﻫﺐ ﺒﻦ
ﻣﻨﺒﻪ ﻋﻦ ﺃﺨﻴﻪ
ﻗﺎﻞ ﺴﻣﻌﺖ ﺃﺒﺎ
ﻫﺮﻴﺮﺓ ﻴﻗﻭﻝ ﻣﺎ
ﻣﻦ ﺃﺼﺤﺎﺐ ﺍﻟﻨﺒﻲ
ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ
ﻭﺴﻟﻢ ﺃﺤﺪ ﺃﻜﺜﺭ
ﺤﺪﻴﺜﺎ ﻋﻨﻪ ﻤﻨﻲ
ﺇﻻ ﻤﺎ ﻜﺎﻦ
ﻤﻦ ﻋﺑﺪﷲ ﺑﻦ
ﻋﻤﺭﻭ ﻓﺈﻨﻪ ﻜﺎﻦ
ﻴﻜﺗﺐ ﻮﻻ ﺃﻜﺗﺐ
ﺗﺎﺑﻌﻪ ﻣﻌﻣﺮ ﻋﻦ
ﻫﻣﺎﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ
ﻫﺮﻴﺮﺓ
“Tidak
ada seorang pun yang lebih tahu tentang hadis Nabi yang kuriwayatkan, kecuali
orang yang menerima hadis dari Abdullah bin Amr, sebab ia menulis dengan
tangannya sendiri dan menghafalnya, sedang saya hanya menghafal saja tidak
menulis”.[16]
Kegiatan tersebut sejalan dengan hadis
Nabi saw sebagaimana hadis beliau:
ﺤﺪﺛﻨﺎ ﻣﺴﺪﺩ
ﻭﺃﺒﻮﺑﻜﺭ ﺑﻦ ﺃﺒﻲ
ﺷﻴﺒﺔ ﻗﺎ ﻻ
ﺤﺪﺛﻨﺎ ﻳﺤﻳﻰ ﻋﻦﻋﺒﻳﺪ
ﺍﻟﻟﻪ ﺒﻦ ﺍﻷﺧﻧﺱﻋﻦ
ﺍﻟﻮﻟﻳﺪ ﺒﻦﻋﺒﺪ ﺍﻟﻟﻪ
ﺒﻦ ﺃﺒﻲ ﻤﻐﻳﺚ
ﻋﻦ ﻳﻮﺴﻑ ﺒﻦ
ﻤﺎﻫﻚ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ
ﺍﻟﻟﻪ ﺒﻦﻋﻤﺮﻮ ﻗﺎﻝ
ﻛﻧﺖ ﺃﻛﺗﺐ ﻛﻝ
ﺸﻲﺀ ﺃﺳﻤﻌﻪ ﻤﻦ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻟﻪ ﺻﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ
ﻋﻟﻴﻪ ﻮﺳﻟﻡ ﺃﺭﻴﺪ
ﺤﻔﻈﻪ ﻔﻨﻬﺘﻨﻲ ﻗﺭﻴﺶ
ﻭﻗﺎﻟﻭﺍ ﺃﺘﻛﺘﺏ ﻛﻞ ﺸﻲﺀ
ﺘﺴﻣﻌﻪ ﻭﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻟﻪ ﺻﻟﻰ
ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻟﻴﻪ ﻮﺳﻟﻡ
ﺑﺸﺮ ﻴﺘﻛﻟﻡ ﻔﻲ
ﺍﻟﻐﺿﺐ ﻭﺍﻟﺭﺿﺎ ﻔﺄﻤﺴﻛﺖ
ﻋﻦ ﺍﻟﻛﺗﺎﺏ ﻔﺬﻛﺭﺖ ﺫﻟﻙ ﻟﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻟﻪ
ﺻﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻟﻴﻪ
ﻮﺳﻟﻡ ﻔﺄﻮﻤﺄ ﺑﺄﺼﺑﻌﻪ
ﺇﻟﻰ ﻔﻴﻪ ﻔﻗﺎﻞ
ﺍﻜﺘﺏ ﻔﻭﺍﻠﺫﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻤﺎ ﻴﺧﺭﺝ ﻤﻧﻪ ﺇﻻﺤﻖ
“Tulislah apa saja yang
engkau peroleh dari saya, karena semua yang berasal dari saya adalah benar.”[17]
2.
Penyebaran
Hadis (Tahammul al-‘Ilm)
Sejak masa Rasulullah
pembelajaran hadis sudah dilakukan. Banyak riwayat yang menerangkan bahwa
Rasulullah sering duduk dalam halaqah (kelompok orang-orang yang duduk
melingkar) bersama sahabat untuk mengajar mereka.[18]
“Dari
Abu Darda diriwayatkan bahwa suatu saat para sahabat duduk di dekat Rasulullah
saw untuk mengingat-ingat dan membicarakan hal yang bertalian dengan hadis.[19]
Nabi juga pernah mendengarkan hadisnya dari sahabat. Seperti riwayat al-Barra’
bin ‘Azib yang mengatakan bahwa rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu hendak tidur, hendaklah
berwudhu dulu kemudian berbaringlah dengan miring ke kanan. Kemudian berdo’alah
begini, “Wahai Allah, saya serahkan jiwa raga dan segala urusan saya kepadaMu,
saya mohon perlundungan Mu, sebab tidak ada perlindungan dan yang memberi
selamat kecuali kepadaMu jua. Wahai Allah saya kepada kitabMu yang telah Kamu
turunkan, dan kepada nabiMu yang telah Kamu utus”. Maka apabila kamu mati pada
malam itu, kamu akan mati dalam keadaan suci. Dan usahakanlah setelah itu kamu
tidak berbicara lagi”. Kata al-Barra’ selanjutnya, “kemudian saya
mengulang-ulangi do’a itu di hadapan Nabi saw. Dan ketika sampai pada kalimat
“Wahai Allah saya beriman kepada kitabMu yang telah Kamu turunkan, dan kepada
nabiMu yang telah utus”, maka Nabi saw segera membetulkan, “Bukan begitu,
tetapi “...dan kepada nabiMu yang telah Kamu utus”.[20]
Di atas telah dijelaskan bahwa sebagian
sahabat yang menulis hadis ketika Nabi saw masih hidup, selain itu sahabat juga
selalu menghafal dan mengingat-ingat kembali hadis tersebut, baik
sendiri-sendiri atau berkelompok.
Pada masa tabiin
kitab-kitab hadis sudah mulai muncul, yang materinya diambil dari kuliah para
sahabat, menurut Azami kitab yang ditulis tabiin itu adalah kitab Basyir bin
Nahik dan Hammam bin Munabbih, murid dari Abu Hurairah dan kitab-kitab milik
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain muncul
pada periode ini.
Sejak perempat ketiga abad pertama, ahli hadis
sudah menggunakan metode atraf, yaitu menulis pangkal suatu hadis
sebagai petunjuk kepada materi hadis seluruhnya. Yang pertama kali memakai
metode ini adalah Ibnu Sirin, kemudian
metode ini diikuti Ismail bin Ayyasy, Hammad bin Sulaiman, Sufyan al-Tsauri,
Ubaidullah bin Umar, Malik bin Anas,Waki’, dan Yazid bin Zurai’.[21]
Adapun kitab-kitab
Atraf yang masyhur antara lain:
- Atraf al-sahihain
karya Abu Mas ud Ibrahim ibn Muhammad al-Dimasyqi (w. 410 H.).
- Atraf al-Sahihain,
karya Abu Muhammad Khalaf ibn Muhammad al-Wasiti (w. 410 H.).
- Al-Asyraf ala marifah al-Atraf karya Abu al-Qasim Ali ibn al-Hasan yang
terkenal dengan nama Ibn Asakir al-Dimasyqi (w. 571 H.).
- Tuhfah al-Asyraf ala Marifah al-Atraf
karya Abu al-Hajjaj Yusuf Abd al-Rahman al-Mazi (w. 742 H.).
- Atraf al-Masanid al-Asyrah karya
Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Busairi (w. 840 H.).
- Ithaf al-Mahrah bi Atraf al-Asyrah karya
Ahmad ibn Ali Hajar al-Aqalani (w. 852 H.).
- Zakhair al-Mawaris fi al-Dilalah ala
Mawadi al-Hadis karya Abd al-Gani al-Nabilisi (w.
1143 H.).[22]
Dalam mengajarkan
hadis, ada beberapa metode yang dipakai yaitu:
a.
Mengajarkan
Hadis Secara Lisan
Metode ini mulai tampak sejak paruh
kedua dari abad kedua, berlangsung lama dan dalam lingkup yang sempit. Para
murid tinggal bersama guru-gurunya dalam waktu yang lama. Pada saat inilah
mereka memperoleh hadis, dan mereka disebut rawi-rawi atau ashhab dari
guru-guru mereka. sebagai contoh:
-
Tsabit
bin Aslam al-Bunani menjadi shahib Anas selama 40 tahun
-
Harmalah
bin Yahya periwayat Ibnu Wahb, dan Shahib al-Syafi’i
-
Humaid
bin Mas’adah adalah rawi dari Sufyan bin Habib
-
Abdullah
bin Musa menjadi shahib Husyaim
-
Abd
al-Wahab bin ‘Ata’ al-Khaffaf rawi dari Sa’id bin Abu ‘Arubah
-
Ali
bin al-Mubarak rawi dari Yahy a bin Abu Katsir
-
Qais
bin Abd al-Rahman rawi dari Sa’ad bin Ibrahim
-
Yahya bin al-Mutawakkil rawi dari Ibnu Juraij.[23]
Metode ini mulai tampak sejak paruh
kedua dari abad kedua, berlangsung lama dan dalam lingkup yang sempit. Para
murid tinggal bersama guru-gurunya dalam waktu yang lama. Pada saat inilah
mereka memperoleh hadis, dan mereka disebut rawi-rawi atau ashhab dari
guru-guru mereka. sebagai contoh:
-
Tsabit
bin Aslam al-Bunani menjadi shahib Anas selama 40 tahun
-
Harmalah
bin Yahya periwayat Ibnu Wahb, dan Shahib al-Syafi’i
-
Humaid
bin Mas’adah adalah rawi dari Sufyan bin Habib
-
Abdullah
bin Musa menjadi shahib Husyaim
-
Abd
al-Wahab bin ‘Ata’ al-Khaffaf rawi dari Sa’id bin Abu ‘Arubah
-
Ali
bin al-Mubarak rawi dari Yahy a bin Abu Katsir
-
Qais
bin Abd al-Rahman rawi dari Sa’ad bin Ibrahim
-
Yahya bin al-Mutawakkil rawi dari Ibnu Juraij.[24]
b.
Membacakan
Hadis Dari Suatu Kitab
Metode ini ada tiga
macam:
-
Guru
membacakan kitabnya sendiri, sedang murid mendengarkannya.
-
Guru
membacakan kitab orang lain, sedang murid mendengarkannya.
-
Murid
membacakan suatu kitab, sedang guru mendengarkannya.[25]
Metode ketiga ini oleh mayoritas ulama sering disebut dengan istilah al-‘ardh.[26]
Menurut kesepakan ulama metode yang
dipakai secara lisan, maupun guru membacakan hadis baik dari kitabnya sendiri
maupun kitab orang lain sedangkan murid mendengarkan termasuk dalam metode sima’,
yang memiliki tingkat keabsahan dan bobot akurasi yang paling tinggi, karena
metode ini menunjukkan bahwa periwayat bertemu langsung dengan sumbernya dan
para murid biasanya akan melakukan pengecekan dengan mencocokkan antara yang
satu dan yang lain.
c.
Metode
Soal-Jawab
Metode soal-jawab ini menggunakan
sistem atraf, dimana murid membacakan pangkal dari suatu hadis, kemudian
gurunya meneruskan hadis itu selengkapnya.[27]
Seperti yang diketahui,
atraf merupakan kitab hadis yang berisi pangkal hadis, dengan
menggunakan atraf ini seorang murid bisa mengetahui atau mencatat lebih
dahulu hadis yang akan disampaikan gurunya.
d.
Metode
Imla’
Pada mulanya metode ini kurang mendorong
untuk belajar hadis, sebab murid dapat saja memperoleh hadis yang banyak dalam
waktu yang singkat. al-Khatib al-Baghdadi menuturkan diantara ahli-ahli hadis
klasik yang menggunakan metode imla’ adalah Syu’bah bin al-Hajjaj, pada periode berikutnya adalah
Yazid bin Harun al-Wasiti, ‘Ashim bin Ali bin ‘Ashim al-Tamimi, dan ‘Amr bin
Marzuq al-Bahili.[28]
Dalam mengimla’kan hadis kepada murid
ada dua cara yang dilakukan, yakni; mengimla’kan hadis dari kitab dan
mengimla’kan hadis dari ingatan (hafalan).[29]
Untuk metode imla’ dari hafalan, ada kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan bisa
jadi metode imla’ ini memakan waktu yang cukup lama dalam periwayatan hadis, mengingat kemampuan atau kecepatan
menulis setiap murid berbeda-beda, apalagi jika jumlah murid yang dimiliki
seorang guru cukup besar. Sehingga dalam satu kali pertemuan hanya sedikit
hadis yang dapat diriwayatkan.
Dalam bukunya yang berjudul Studies
in Hadith Methodology and Literature, Azami menyebut ada delapan metode
pembelajaran hadis, yaitu:
a. Sama’
yaitu guru membacakan hadis kepada murid. Metode ini dapat dipraktekan dengan
empat cara, yakni; empat metode yang disebutkan di atas.[30]
b. ‘Ard :
murid membacakan hadis kepada guru
c. Ijazah: mengizinkan
sesorang untuk meriwayatkan hadis atau kitab tanpa dibaca oleh seorang pun.
d. Munawalah: menyerahkan
kitab kepada seseorang untuk diriwayatkan.
e. Kitabah:
menuliskan hadis untuk seseorang.
f. I’lam:
menginformasikan atau menyampaikan bahwa ia telah mempunyai izin untuk
menyampaikan beberapa hadis.
g. Wasiyah:
mempercayakan kepada seseorang kitab hadis yang dimiliki.
h. Wajadah:
menemukan beberapa kitab atau hadis yang ditulis oleh orang lain, seperti
halnya saat ini kita menemukan manuskrip di perpustakaan atau tempat lain.[31]
3.
Isnad
(Pemakaian Sanad)
Kritik yang dilalukan oleh ulama hadis
lebih banyak dilakukan terhadap sanad karena illat yang terdapat di
dalam sanad lebih banyak dari matan. Kesimpulan yang disampaikan oleh Joseph
Schacht bahwa sanad adalah buatan orang-orang belakangan karena tidak terdapat
dalam kitab-kitab seperti al-muwattha’ dan al-Umm, Azami
membantah hal ini karena yang diteliti oleh Schacht adalah kitab-kitab fikih.
Kitab tersebut tidak cocok dijadikan acuan penelitian hadis, karena langsung
menuliskan hadis dari sumber pertama, dan tidak menuliskan sanadnya agar
mempersingkat uraian dalam kitab-kitab tersebut.[32]
Sistem isnad (rangkaian para
periwayat hadis yang menjadi sandaran kesahihan sebuah matan hadis)[33]
muncul pertama kali sejak masa hidup Nabi saw, sistem ini dimulai dari praktek
para sahabat dalam meriwayatkan hadis ketika mereka saling bertemu. Para
sahabat menyusun jadwal khusus untuk menghadiri majelis Nabi saw dan
menghabarkan apa yang mereka dengar dan lihat dari Nabi. Biasanya mereka
menginformasikan kepada sahabat yang lain dengan menggunakan kalimat seperti
“Nabi telah melakukan ini dan ini” atau “Nabi telah berkata begini dan begini”.
Dan juga biasa bila seseorang mendapat pengetahuan dari orang kedua, ketika
menyampaikan kepada orang ketiga, dia akan menyebutkan secara rinci sumber
informasinya dan memberikan cerita kejadiannya secara lengkap. Metode inilah,
pada awal penyebaran sunnah Nabi, yang melahirkan sistem isnad.[34]
Dimungkinkan pemalsuan hadis pertama
kali muncul pada dekade keempat atau kelima sebab alasan politik. Karena
kelompok-kelompok politik saling bermusuhan, sedang di antara mereka ada yang
lemah iman dan dangkal pengetahuan agamanya, sehingga mereka membuat hadis
palsu untuk kepentingan kelompok.
Untuk meningkatkan derajat Ali, kaum
Syi’ah membuat hadis:
ﻭ ﺇﻟﻰ
ﻣﻥ ﺍﺮﺍﺪ ﺃﻥ
ﻳﻧﻆﺮ ﺇﻟﻰ ﺁﺪﺍﻡ
ﻓﻰ ﻋﻟﻣﻪ ﻮﺇﻟﻰ
ﻧﻮﺡ ﻓﻰ ﺘﻗﻭﺍﻩ
ﻭﺇﻟﻰ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻡ ﻓﻰ
ﺤﻟﻣﻪ ﻭﺇﻟﻰ ﻣﻭﺴﻰ
ﻓﻰ ﻫﻴﺑﺘﻪ ﻭﺇﻟﻰ
ﻋﻳﺴﻰ ﻓﻰ ﻋﺑﺎﺪﺘﻪ
ﻓﻟﻳﻧﻇﺮ ﺇﻟﻰ ﻋﻟﻲ
“Barang siapa
ingin melihat kepada Adam ketinggian ilmunya, ingin melihat kepada Nuh tentang
ketaatannya, ingin melihat kepada Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin
melihat Musa tentang kehebatannya, ingin melihat Isa tentang ibadahnya, maka
hendaklah melihat kepada ‘Ali”.
Untuk
membela dan memperlihatkan kedudukan Mu’awiyah dibuat orang hadis:
ﺍﻷﻣﻧﺄ ﺛﻼﺛﺔ
ﺃﻧﺎ ﻭ ﺠﺑﺮﻳﻞ
ﻭ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ
“Yang
kepercayaan hanya tiga orang saja, saya, Jibril, dan Mu’awiyah”.
Untuk
propaganda popularitas Bani Abbas
muncullah hadis:
ﺍﻟﻌﺑﺎﺱ ﻭﺻﻳﺗﻲ
ﻭ ﻭﺍﺮﺛﻲ
“Abbas itu orang
yang memelihara (mengurus) wasiyatku dan yang mengambil menerima pusaka
dariku”.[35]
Para ulama sangat berhati-hati dan mulai
meneliti sumber-sumber informasi yang diberikan kepada mereka. Ibnu Sirin
(w.110H) berkata “Mereka tidak biasa menanyakan isnad, tapi ketika terjadi fitnah
mereka berkata: “berikan kepadaku nama orang-orangmu”. Karena orang-orang
yang ahli sunnah, hadis mereka diterima, sedangkan yang ahli bid’ah hadis
mereka ditolak”.[36]
Dari hasil penelitiannya, Azami
menyimpulkan bahwa dalam sanad hadis semakin jauh orang-orang dari masa Nabi
saw, semakin bertambah pula orang-orang yang meriwayatkan hadis. Apabila
seorang sahabat mempunyai sepuluh orang murid, maka akan kita lihat bahwa
jumlah ini pada generasi berikutnya akan berkembang menjadi dua puluh atau tiga
puluh dan tersebar di berbagai pelosok negeri islam.
Sebagai contoh hadis yang terdapat dalam
naskah Suhail bin Abu Shalih
ﺤﺪﺛﻧﺎ ﻋﺑﺪ
ﺍﻟﻌﺯﻴﺯ ﺑﻦ ﺍﻠﻤﺨﺘﺎﺮ
ﻗﺎﻞ꞉ ﺤﺪﺛﻧﺎ ﺴﻬﻴﻞ
ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺼﺎﻟﺢ
ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻋﻦ
ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﺍﻦ
ﺍﻟﻧﺑﻲ ﺼﺎﻟﻰ ﷲ
ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ ﻗﺎﻝ꞉
ﺇﻨﻤﺎ ﺍﻹﻤﺎﻡ ﻟﻴﺆﺗﻢ
ﺑﻪ ﻓﺎﺬﺍ ﻜﺒﺮ
ﻓﻜﺒﺮﻮﺍ ﻮﺍﺬﺍ ﺮﻜﻊ
ﻓﺎﺮﻜﻌﻮﺍ ﻮﺍﺬﺍ ﻗﺎﻞ
ﺴﻤﻊ ﷲ ﻟﻤﻦ
ﺤﻤﺪﻩ ﻔﻗﻮﻟﻮﺍ ﺍﻟﻟﻬﻡ
ﺭﺒﻨﺎ ﻟﻚ ﺍﻟﺤﻣﺪ
ﻮ ﺍﺫﺍ ﺴﺠﺪ
ﻓﺎﺴﺠﺪﻮﺍ ﻭ ﻻ
ﺘﺴﺠﺪﻮﺍ ﺤﺘﻰ ﻴﺴﺠﺪﻮﺍ
ﻮﺍﺫﺍ ﺮﻓﻊ ﻓﺎﺮﻓﻌﻭﺍ
ﻮ ﻻ ﺘﺮﻓﻌﻭﺍ
ﺣﺘﻰ ﻴﺮﻓﻊ ﻮﺍﺫﺍ
ﺼﺎﻟﻰ ﻗﺎﻋﺪﺍ ﻓﺼﻟﻮﺍ
ﻗﻌﻮﺪﺍ ﺃﺠﻤﻌﻮﻦ
Hadis ini diriwayatkan oleh sepuluh
sahabat, dari Abu Hurairah, hadis ini diriwayatkan oleh paling sedikit tujuh
orang, empat dari Madinah, dua dari Mesir, dan seorang lagi dari Yaman. Maka
murid-murid Abu Hurairah paling sedikit mempunyai dua belas murid yang tersebar
di berbagai tempat yakni, seorang di Syam, lima orang di Madinah, seorang di
Kufah, dua orang di Mekkah, seorang di Taif, seorang di Mesir, dan seorang lagi
di Yaman.[37]
Sanad hadis tidak pernah mengalami perkembangan
atau perbaikan, sebuah hadis tidak dapat diterima apabila ternyata lemah atau
palsu, meskipun matannya shahih. Hadis hanya dapat diterima apabila sanad dan
matannya sama-sama shahih, dan oleh karena banyaknya perawi yang tinggal di
berbagai negeri yang berjauhan, sehingga hal tersebut dapat membantah teori Projecting
Back (proyeksi ke belakang)[38]
yang dituturkan oleh kaum orientalis, Joseph Schacht. Menurut teori ini, sanad
pada awalnya dipakai dalam bentuk sederhana, kemudian pada abad kedua Hijriah,
dikembangkan dan diarahkan ke belakang dengan memperbaiki atau menambahkan
sanad atau dibuat-buat sehingga sampai pada generasi sahabat dan tentunya
sampai kepada Nabi agar hadis yang disampaikan menjadi otentik.
Untuk isnad keluarga seperti rangkaian periwayatan
Malik – Nafi – Ibn Umar, Azami berpendapat tidak semua isnad keluarga itu asli
dan tidak semuanya palsu. Hal ini sejalan dengan pendapat Abbott bahwa isnad
keluarga menunjukkan adanya kesinambungan periwayatan hadis dari masa Nabi
hingga terbitnya berbagai kitab hadis kanonik.[39]
4.
Hadis
Nabawi dan Otentitasnya
Pada dasarnya menurut
Azami ada tiga cara yang ditempuh dalam mengkritik hadis, agar dapat diketahui
otentitasnya, yakni sebagai berikut:
a. Karakter Para Periwayat
Sebagaimana yang kita
ketahui ada beberapa kriteria untuk para periwayat agar hadis yang
diriwayatkannya dinyatakan shahih, ketentuan tersebut antara lain:
1) Periwayat yang dipercaya haruslah ‘adl
Menurut Ibn al-Mubarak perawi yang adil
adalah orang yang selalu salat berjamaah, tidak meminum nabidz (minuman
beralkohol), tidak pernah melanggar hukum dalam hidupnya, tidak pernah
berbohong, dan tidak mengidap penyakit mental.[40]
Menurut Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib, ‘adl berarti sifat yang melekat pada jiwa yang mampu mengarahkan
seseorang untuk senantiasa bertakwa, menjaga harga diri (muru’ah),
menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi
perbuatan yang menjatuhkan harga diri, seperti makan di jalan, kencing di jalan
dan sebagainya. Sedangkan menurut Imam al-Nawawi perawi yang disebut ‘adl
adalah muslim, berakal sehat, tidak terdapat sebab-sebab kefasikan, terhindar
dari hal-hal yang menjatuhkan muru’ah. Imam al-Hakim menambahkan untuk
kriteria ‘adl apabila ia seorang hafidz, maka ia tidak boleh lupa ketika
menyampaikannya.[41]
Untuk mengetahui ‘adl
tidaknya seorang perawi ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu pernyataan dari
orang yang ‘adl dan perawi tersebut memang terkenal dengan sifat ‘adlnya.
Semua perawi harus
diteliti sifat ‘adlnya kecuali para sahabat Nabi yang sudah tidak
diragukan lagi sifat-sifatnya. Muhadditsin sepakat bahwa pada masa Rasulullah
hidup dan masa Khalifaurrasyidin adalah masa berkumpulnya perawi yang
adil.
Hal ini merujuk kepada
hadis Nabi saw yang berbunyi
“Yang terbaik di antara
kalian adalah mereka yang hidup di masaku, kemudian mereka yang datang
setelahnya, kemudian mereka yang akan datang setelahnya”.
2) Kapasitas intelektual perawi (dhabit)
Perawi yang dhabit adalah perawi yang
hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya; mampu menyampaikan hadis tersebut
kepada orang lain; dan mampu memahami hadis yang dihafal tersebut.[43]
Dari sudut hafalan dhabith terbagi
dua yaitu; pertama, dhabth shadri yakni hadis yang diterima terpelihara
dalam hafalan secara sempurna sejak diterima sampai diriwayatkan kepada orang
lain, kapan saja diperlukan hadis tersebut dapat diriwayatkan dengan sempurna,
yang kedua, dhabth kitabi yaitu terpelihara periwayatan melalui
tulisan-tulisan yang dimiliki. Perawi mengingat dengan baik catatan hadisnya,
dan meriwayatkan hadis tersebut kepada orang lain dengan benar.[44]
Untuk mengetahui tingkat ‘adl dan kapasitas intelektual perawi dapat
diketahui dengan disiplin ilmu khusus yang disebut al-jarh wa al-ta’dil.
Contohnya ada kitab yang ditulis oleh Ibn Abi Hatim yang menyusun nama-nama
perawi dengan lengkap secara alfabet, menyebutkan nama ayah dan gelarya,
ditambah dengan biografi dan sebagian hadis yang diriwayatkannya, setelah itu
memberi penilaian terhadap periwayat, misalnya dengan lafaz ﺜﻗﺔ , ﺤﺎﻔﻇ , ﺤﺠﺔ
b. Perbandingan Tekstual
Jika penelitian tertuju
pada teks atau dokumen, metode yang digunakan adalah perbandingan atau
pertanyaan pancingan dan referensi silang. Dengan mengumpulkan semua materi
yang berhubungan, atau dengan kata lain semua hadis yang diteliti, kemudian
membandingkannya satu sama lain dengan hati-hati, kemudian menentukan yang mana
yang akurat. Ibn al-Mubarak berkata: “untuk mencapai pernyataan yang otentik
seseorang perlu membandingkan perkataan seorang ulama dengan yang lain.[45]
Metode perbandingan
bisa dilakukan dengan beberapa cara, yakni sebagai berikut:
1) Membandingkan hadis-hadis dari
murid-murid yang berbeda tetapi masih dari ulama yang sama.
2) Membandingkan pernyataan-pernyataan yang
dibuat pada waktu yang berbeda oleh seorang ulama.
3) Membandingkan versi lisan dan tulisan.
4) Membandingkan hadis dengan teks yang
berkaitan dalam al-qur`an.[46]
Contoh dari metode diatas sebagai
berikut:
1) Membandingkan hadis dari murid yang
berbeda tapi dari ulama yang sama.
Pada metode ini untuk mengetahui
kebenaran teks hadis, kita dapat melalukakannya dengan mengumpulkan hadis-hadis
dari semua murid dari satu ulama kemudian membandingkannya, misalnya
mengumpulkan hadis dari murid-murid si B, kemudian mengumpulkan hadis dari
teman-teman si B yang merupakan murid dari si A, setelah itu membandingkan
hadis tersebut, hadis mana yang disepakati oleh mereka itulah hadis yang
dianggap benar. contoh:
“Dari
Muslim, seorang murid al-Bukhari. Ibn ‘Abbas pernah menginap di kamar bibinya
Maimunah. Beberapa saat kemudian, menurut pernyataannya, Nabi saw berdiri,
berwudhu, dan mulai salat. Ibn ‘Abbas melakukan hal yang sama, dan setelah
berwudhu dia pergi dan berdiri di samping kiri Nabi saw. Dengan kejadian itu,
Nabi saw memindahkannya dari sebelah kiri dan membuatnya berdiri di samping
kanan Nabi saw. Kejadian ini juga diriwayatkan oleh salah seorang ulama, Yazid
bin Abu Zinad, dari sumber Kuraib, dari Ibn ‘Abbas; tetapi dalam versi ini Ibn
‘Abbas berdiri di sebelah kanan Nabi saw dan kemudian dia dipindahkan ke
sebelah kiri Nabi saw.
Untuk menentukan versi mana yang benar, Muslim
menerapkan metode: mengumpulkan semua pernyataan teman-teman Yazid, murid-murid
Kuraib yang dengan suara bulat menyetujui bahwa Ibn ‘Abbas semula berdiri di
samping kiri Nabi saw. Kemudian dia mengumpulkan semua pernyataan teman-teman
Kuraib, murid-murid Ibn ‘Abbas yang dengan suara bulat setuju bahwa Ibn ‘Abbas
semula berdiri di samping kiri Nabi saw. Berikutnya Muslim mengumpulkan
laporan-laporan kejadian ketika seorang sahabat salat bersama Nabi saw. Dalam
kasus ini, jelas bahwa orang lain berdiri di sebelah kanan Nabi saw. Sehingga
dapat dikatakan apa yang datang dari Yazid bin Abu Zinad adalah salah.”[47]
2) Membandingkan pernyataan-pernyataan yang
dibuat pada waktu yang berbeda oleh seorang ulama.
Ketika
seorang perawi menyampaikan hadis tentunya tidak ada perubahan atau perbedaan
meskipun disampaikan berulang kali dalam rentang waktu yang cukup lama, jadi
bisa dibandingkan hadis yang disampai beberapa tahun sebelumnya dengan hadis
yang sama yang baru disampaikan, seperti contoh berikut:
Aisyah
ra. pernah meminta keponakannya ‘Urwah untuk pergi menemui ‘Abdullah bin ‘Amr
dan menanyainya hadis-hadis dari Nabi saw, seperti yang banyak dia pelajari
dari Nabi saw, salah satu hadis yang dipelajari ‘Urwah dari beliau adalah
mengenai ilmu pengetahuan yang akan diambil dari bumi. Dia melaporkan kepada
Aisyah apa yang telah dipelari, dan Aisyah menjadi terganggu oleh hadis khusus
ini. Setelah satu tahun berlalu Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Abdullah bin
‘Amr telah kembali, pergi dan tanyakan kepadanya hadis yang sama. ‘Urwah
melaporkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr mengulangi hadis yang sama persis seperti
sebelumnya. Kemudian Aisyah berkata, “Aku tidak menyangka tapi dia benar,
karena dia tidak menambahkan apapun kepadanya dan tidak pula menguranginya”.[48]
3) Membandingkan versi lisan dan tulisan.
Ketika
terdapat perbedaan dalam periwayatan hadis yang diriwayatakan secara lisan,
maka bisa diteliti kebenarannya dengan merujuk kepada teks yang ada di kitab
hadis, contoh:
Muhammad
bin Muslim dan al-Fadhl bin ‘Abbad sedang mempelajari hadis di hadapan Abu
Zur’ah. Muhammad meriwayatkan hadis yang tidak diterima oleh al-Fadhl, dan
mereka berdebat, kemudian mereka meminta kepada Abu Zur’ah untuk memutuskan
siapa yang benar. Abu Zur’ah merujuk kepada sebuah buku untuk mendapatkan hadis
yang dimaksud, dan ternyata ditemukan kejelasan bahwa Muhammad bin muslim telah
keliru.
Contoh lain adalah sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibn Mas’ud, mengenai mengangkat tangan ketika
akan ruku’. Yahya bin Adam berkata bahwa ia mengecek buku milik Abdullah bin
Idris, dan dia tidak menemukan hadis tersebut. Mengomentari hal ini, Bukhari
memuji praktek tersebut karena menurut beliau
buku lebih akurat di mata ulama.[49]
4) Membandingkan hadis dengan teks yang
berkaitan dalam al-qur`an.
Al-qur`an
merupakan sumber utama dalam islam, sedangkan hadis adalah sumber kedua
sekaligus penjelas dari al-qur`an, oleh karena itu hadis tidak mungkin
bertentangan dengan sumber utama, jadi untuk mengetahui otentisitas hadis kita
bisa membandingkan hadis tersebut dengan nas al-quran yang berkaitan, jika ternyata
bertentangan bisa dipastikan hadis tersebut harus ditolak.
Metode ini digunakan oleh ‘Umar untuk
menolak hadis dari Fatimah binti Qais tentang uang biaya hidup bagi
wanita-wanita yang sudah ditalaq. Aisyah juga menerapkan metode ini dalam
beberapa kasus.[50]
Contohnya hadis yang terdapat dalam sahih
al-Bukhari dalam kitab al-Janaiz, bab al-Mayyit yu’azzab bibuka’i ahlih
ﻗﺎﻞ ﺍﻟﺑﺧﺎﺮﻱ꞉
ﺤﺪﺜﻧﻲ ﻋﻟﻲ ﺑﻦ
ﺤﺠﺮ ﺤﺪﺜﻧﺎ ﻋﻟﻲ
ﺑﻦ ﻤﺴﻬﺮ ﻋﻦ
ﺍﻟﺸﻳﺑﺎﻧﻲ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ
ﺑﺭﺪﺓ ﻋﻥ ﺃﺑﻳﻪ
ﻗﺎﻞ ﻟﻤﺎ ﺃﺻﻳﺐ
ﻋﻤﺭ ﺟﻌﻞ ﺻﻬﻳﺐ
ﻳﻗﻭﻝ ﻭﺍ ﺃﺧﺎﻩ
ﻓﻗﺎﻝ ﻟﻪ ﻋﻤﺭ
ﻳﺎ ﺼﻬﻳﺐ ﺃﻤﺎ
ﻋﻟﻤﺖ ﺃﻦ ﺭﺴﻭﻝ
ﷲ ﺻﻟﻰ ﷲ
ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ ﻗﺎﻝ
ﺇﻦ ﺍﻟﻣﻴﺖ ﻟﻴﻌﺬﺐ
ﺑﺑﻜﺎﺀ ﺍﻟﺤﻲ
“Orang yang meninggal diazab karena
ditangisi yang hidup (keluarganya)”.
Hadis ini sudah memenuhi kriteria
kesahihan sanad, baik sanadnya bersambung maupun kapasitas kualitas para
perawinya. Dari 37 jalur yang diteliti
terlihat bahwa redaksi matan tersebut berbeda-beda sehingga disimpulkan
periwayatan hadis ini secara makna. Aisyah mengkritik periwayatan hadis ini
karena menurut beliau periwayatan tersebut bertentangan dengan ayat al-qur`an
surat al-An’am ayat 164
...
wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 4 ....
“Tidaklah seseorang menanggung dosa
orang lain...”.
Menurut Muhammad al-Ghazali dari 37
jalur hanya dua jalur periwayatan yang diterima, yaitu jalur yang terdapat
dalam Shahih Muslim, riwayat dari Aisyah. Periwayatan yang lain ditolak
karena riwayat yang lain bertentangan dengan al-qur`an. Sedangkan hadis
merupakan penjelas bagi Al-qur’an, oleh karena itu untuk menguji otentisitas
sebuah hadis, dapat menggunakan metode menghadapkan hadis-hadis tersebut dengan
nas-nas al-qur`an.[51]
Menurut Ali Mustafa Yaqub, hadis ini
mempunyai dua versi, dari Umar dan dari Aisyah. Dari Umar, seseorang yang mati
akan disiksa apabila ia ditangisi oleh keluarganya, baik yang itu muslim atau
kafir. Sedangkan Aisyah, mayat yang
disiksa itu apabila ia kafir, sedangkan
mayat yang muslim tidak disiksa. Karena Umar dan Aisyah tidak mungkin berdusta,
kedua versi hadis ini tetap dianggap sebagai hadis shahih.[52]
Para muhadditsin berpendapat hadis yang
bisa disandingkan dengan nas al-qur`an adalah hadis yang sudah terbukti
keshahihan sanad dan matannya. Untuk hadis yang terlihat seperti bertentangan
dengan al-qur’an, hadis tersebut harus ditakwilkan atau para muhadditsin
menggunakan ilmu Mukhtaliful Hadis.
Adapun contoh hadis di atas, menurut
penulis tidak bertentangan dengan al-qur`an, makna orang yang meninggal akan
disiksa jika ditangisi oleh keluarganya, bisa jadi memang benar, jika tangisan
tersebut adalah tangisan yang berlebihan, seperti meronta atau sampai
mennyakiti diri seperti mencakar-cakar dan sebagainya. Kita asumsikan saja
dengan orang yang mengajak kepada kebaikan, seperti mengajak melaksanakan
ibadah, maka orang yang mengajak tersebut dijanjikan akan mendapat pahala yang
sama seperti pahala mengerjakan ibadah dari orang yang diajaknya. Apakah hal
ini juga bertentangan dengan surat al-An’am tersebut?
c. Kritik Nalar
Menurut al-Mu’allami al-Yamani
penggunaan nalar (‘aql) diterapkan dalam tiap tahap baik ketika
mempelajari dan mengajarkan hadis, dalam menilai periwayat, dan dalam
mengevaluasi otentisitas hadis.
Menurut Ibn Abi Hatim al-Razi, inti dari
pengujian nalar adalah bahwa hadis harus bernilai sebagai penyataan dari Nabi
saw. Beliau berkata: “Otentisitas hadis dapat diketahui dari datangnya hadis
itu dari para periwayat yang terpercaya dan pernyataan itu sendiri harus
memiliki nilai sebagai pernyataan kenabian.[53]
Ibn al-Qayyim mengemukakan beberapa
indikator untuk mengenali hadis palsu dengan penggunaan nalar, yakni:
1)
Pernyataan-pernyataan
aneh yang semestinya tidak dibuat oleh Nabi saw, misalnya hadis palsu yang
dinisbatkan kepada Nabi adalah “barang siapa yang mengucapkan Laa Ilaha illa
Allah, maka Allah akan mmenciptakan dari kalimat ini seekor burung dengan
tujuh puluh ribu lidah...”
2)
Pernyataan-pernyataan
yang secara empiris dapat ditunjukkan kepalsuannya.
3)
Penisbatan yang
tidak masuk akal.
4)
Bertolak
belakang dari sunah-sunah yang terkenal.
5)
Pernyataan-pernyataan
yang diklaim dibuat oleh Nabi saw di hadapan banyak sahabat, tapi tidak
diriwayatkan oleh seorang pun dari mereka.
6)
Pernyataan-pernyataan
yang mirip dengan pernyataan-pernyataan Nabi saw yang lainnya.
7)
Susunan kata-kata
yang menyerupai susunan kata-kata milik para sufi atau tabib.
8)
Berlawanan
dengan al-Qur`an
9)
Gayanya kurang
memadai.[54]
Inilah sebagian cara yang diterapkan
oleh para ulama dalam mengevaluasi hadis-hadis secara rasional ditambah dengan
kritik isnad, agar dapat dipastikan bahwa literatur hadis diriwayatkan
dalam bentuk semurni mungkin dan dapat menyingkirkan hal-hal yang mencurigakan.
Sampai saat ini masih banyak hadis palsu
yang beredar di masyarakat khususnya hadis yang berkenaan dengan fadhilah
‘amal atau keutamaan ibadah, hal ini disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan masyarkat tentang ulumul hadits serta hadis yang
disampaikan atau dipelajari tidak diambil dari kitab aslinya seperti hadis yang
terhimpun dalam Kutub al-Sittaht, penulis sendiri mengalami hal tersebut
ketika masih di Madrasah Ibtidaiyah mendapat pelajaran tentang keutamaan
menuntut ilmu, disampaikan dalil
“tuntutlah ilmu walau ke negri Cina”, yang dikatakan sebagai hadis.
Belakangan baru penulis ketahui kalau kalimat tersebut bukan hadis. Bahkan
baru-baru ini ketika penulis membaca salah satu materi pelajaran dan juga buku
novel kalimat tersebut juga disebut sebagai hadis. Oleh karena itu, sebagai
seorang muslim yang baik terlebih lagi jika berpropesi sebagai da’i atau
sebagai pendidik hendaknya kita benar-benar mempelajari hadis sebagai sumber
hukum kedua setelah al-Qur`an, agar hadis yang kita sampaikan benar-benar hadis
yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan.
C. Sanggahan M. M. Azami terhadap Joseph
Schacht
Dalam mengkaji hadis Nabi, sanad (transmisi, silsilah
keguruan) lebih banyak disoroti oleh Schacht dari pada aspek matan (materi
Hadis). Sedangkan kitab-kitab yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah
kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik, kitab al-Muwaththa’ karya
Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Umm dan al-Risalah karya
Imam al-Syafi’i.[55] Menurut
Prof. Dr. M.M Azami, kitab-kitab ini sebenarya lebih tepat disebut kitab-kitab
Fiqh dari pada kitab-kitab Hadis. Sebab antara kitab hadis dan fikih, keduanya
memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, meneliti hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab-kitab fiqh hasilnya tidak akan jauh dari kebenaran.
Penelitian Hadis haruslah pada kitab-kitab Hadis.
Kesimpulan dari teori Schacht adalah baik kelompok
aliran-aliran fiqh klasik maupun kelompok ahli-ahli Hadis, keduanya sama-sama
pemalsu hadis. Karenanya, sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub,
Schacht mengatakan : we shall not meet any legal tradition from the prophet
which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu
pun Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan
sebagai Hadis Shahih).[56]
Untuk membantah teori yang dikemukakan Schacht, yang
meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui
penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus
tentang Hadis-Hadis nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya
adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail)
adalah murid Abu Hurairah shahabat nabi saw. Hasil penelitian tersebut telah
dijadikan buku yang berjudul Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarekh
Tadwinih (Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya) dan menjadi referensi
utama dalam makalah ini
Azami menyebutkan, adalah hal yang umum dalam sanad
apabila semakin jauh dari masa Nabi saw, maka semakin besar pula jumlah
orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49
Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail,
yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan
domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi
berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan
berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara
teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Teori Projecting Back yang digunakan oleh
Schacht tidak masuk akal, karena faktanya terdapat sejumlah riwayat yang sama
dalam bentuk dan makna pada literatur para ahli hadis dari sekte-sekte Muslim
yang berbeda, yang sudah terpecah sekitar
tiga puluh tahun setelah Nabi saw wafat.[57]
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil menurut keadaan situasi dan kondisi
pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadis palsu sehingga
redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat
Hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang
mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan
Schacht, baik tentang teori terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan)
Hadis tersebut.
[3]Suryadi, MA dan Dr. M.
Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Teras,
2009), h. 8
[4]M. M. Azami, Studies
In Hadith Methodology And Literature, (Indianapolis: American Trust
Publications, 1977), h. 5
[5] Bustamin
M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 12
[6]Usman Sya’roni, Otentisitas
Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002),
h. 1
[7]M. M.
Azami, Hadis Nabawi.., h. 106-107
[10] Imam an-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim Jilid 1, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009), h. 25
[12] Imam an-Nawaw, h. 26
[17]Abu Daud, Sunan Abu
Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), h. 181
[19] Ibid,. h. 446
[22] Suryadi, h. 41
[23] M. M. Azami, Hadis
Nabawi.., h. 455
[24] M. M. Azami, Hadis
Nabawi.., h. 455
[26] Umi Sumbulah, h. 69
[27] M. M. Azami, Hadis
Nabawi.. h. 476
[28] Ibid,. h. 480
[29] Ibid,. h. 484
[30] Penjelasan
rinci bisa dilihat pada buku M. M. Azami, Studies in Hadith Methodology and
Literature halaman 17-19
[31] M. M. Azami, Studies
in Hadith...., h. 16
[32] H. Zeid B. Smeer, Ulumul
Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN Maliki Press, 2008), h.
168
[33] Ali Masrur, Teori
Common Link G. H. A. Juynboll, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. xviii
[34] Muhammad Mustafa A’zami,
Isnad and Its Significance: Kumpulan Artikel dalam Buku Hadith And
Sunnah, (Malaysia: Islamic Book Trust, 1996), h. 58-59
[35]Endang Soetari, Ilmu
Hadis Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka: 2008), h. 49-50
[36] M. M. Azami, Menguji
Keaslian Hadis-hadis Hukum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 225
[37] M. M. Azami, Hadis
Nabawi..., h. 548
[38] Teori
Joseph Schacht yang menyatakan bahwa matan hadis pada awalnya berasal dari
generasi tabiin yang diproyeksikan ke belakang kepada generasi sahabat dan
akhirnya kepada Nabi saw dengan cara menambah dan memperbaiki isnad yang sudah
ada. lihat Ali Masrur, Teori Common Link, h. xxii
[40] M. M. Azami, Menguji
Keaslian Hadis-hadis Hukum, h. 157
[41] Usman Sya’roni, h. 34
[42] Bustamin, h. 7
[43] Suryadi, h.104
[44] Usman Sya’roni, h. 36-37
[45] M. M. Azami, Studies
In Hadith Metodology And Literature, h. 52
[47] Ibid,. h. 159
[49] Ibid,.
[50] Ibid,. h.161
[54] Ibid,. h. 162
[55] M. M. Azami, Hadis
Nabawi...., h. 538
[56]Zailani,
Kajian Sanad Hadis,
Antara Joseph Schacht Dan M.M. Azami, http://fush.uin-suska.ac.id/.../074_KAJIAN%20SANAD%20HADIS.pdf diakses tanggal
23 Oktober 2011
[57]Kamaruddin Amin, h. 139
0 komentar:
Posting Komentar