PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak
bisa dipungkiri bahwa di dalam kitab sumber hukum Islam pertama, yakni al-Qur’an
ada menyebutkan tentang Qadha dan Qadar, baik secara eksplesit maupun
implesit. Dengan hujjah tersebutlah mayoritas kaum muslimin mempercayai adanya qadha
Allah, baik dari kalangan yang mengukuhkan sebagai rukun iman maupun yang
tidak. Di antara lain firman Allah yang menyatakan pengaruh mutlak qadha dan
qadar dan Dia mendahului setiap perbutan adalah :
Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan (qadar) bagi taip-tiap
sesuatu. (QS. at-Thalaq (65): 3)
Sesungguhnya kami menciptakan
segala sesuatu menurut qadar (ukuran).
(QS. al-Qamar (54): 49)
Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang
Dia kehendaki. (Ibrahim {14}: 4)
Sedangkan contoh ayat yang
menunjukkan manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya antara lain ialah:
Sesungguhnya Allah
tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan.
(ar-Ra’ad (13): 11)
Dan Allah telah
membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi
tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi
(penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan
kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang
selalu mereka perbuat.(an-Nahl (16): 112)
Dan Allah
sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri. (al-Ankabut (29): 40)
Dengan disuguhkan ayat-ayat di atas, ini menunjukkan bahwa; prihal qadha
dan qadar bukanlah dongeng (Asathir),
justru karena ia eksis di dalam al-Qur’an ini lah yang membuat permasaalahan
ini berakhir dengan mewujudkan sebagian orang membisu tidak mau membahas, dan
sebagian ada yang membahas, namun tidak menemukan kesepakatan bersama.
Di makalah kami ini nantinya akan
membahas dengan sederhana tentang qadha dan qadar, yang hanya sebagai pengantar
bagi kita bersama untuk menyelami prihal qadha dan qadar dengan lebih dalam
lagi.
B. Rumusan Masaalah
Pokok
perhatian dalam makalah ini nantinya adalah:
- Pengertian qadha dan qadar
- Bagaimana sikap para sahabat nabi dalam memahami qadha dan qadar. ini di karenakan mereka adalah orang yang paling dekat dengan nabi.
- Apa hikamah disebalik qadha dan qadar?
C. Tujuan Penulisan
Dari
fenomena karakter setiap orang menanggapi qadha dan qadar, maka kami bermaksud
agar orang yang pasrah kepada qadha dan qadar mau berusaha keras serta gigih
dalam menjalani kehidupan ini. Dan bagi orang yang merasa dirinya berkuasa
total terhadap usahanya, agar mereka menjadi sadar akan kelemahan sebagai
seoarang makhluk dan tidak sombong terhadap Tuhannya.
PEMBAHASAN
- Pengertian Qadha dan Qadar
Ibnu
Atsir memberi defenisi tentang qadar di dalam kitab an-Nihayah (4/22) sebagai berikut: Qadar (taqdir) adalah ketentuan Allah
SWT untuk seluruh makhluk dan ketetapannya-Nya atas segala sesuatu. Ia adalah bentuk masdar dari akar kata: qadara-yaqduru-qadaran (kadang-kadang
huruf dal-nya di matikan, sehingga
menjadi qadran).[1]
Qadha berarti penetapan hukum, atau
pemutusan penghakiman sesuatu. Seorang qadhi
(hakim) di namakan demikian sebab ia bertugas atau bertindak menghakimi dan
memutuskan perkara antara kedua orang yang bersengketa di muka pengadilan. Al-Qur’an
al-Karim menggunakan kata ini dengan menisbahkannya kadang-kadang kepada Allah dan
kadang-kadang kepada manusia, untuk memisahkan dua pokok bahasan dalam
pembicaraan dan juga untuk memisahkan antara dua penciptaan di alam ini.
Qadar
berarti kadar dan ukuran tertentu. Kata ini juga sering digunakan dalam al-Qur’an
untuk menunjukkan arti ini.
Kejadian-kejadian alam, ditinjau
dari sudut keberadaannya di bawah pengawasan dan kehendak Allah yang pasti,
dapat di kelompokkan kedalam ke dalam qadha
ilahi, dan dari sudut sifatnya yang terbatas pada ukuran dan qadar tertentu
serta pada kedudukannya dalam ruang dan waktu, dapat di kelompokkan ke dalam qadar ilahi.[2]
B. Pembagian Qadha
1. Qadha Mu’allaq
Qadha mu’allaq adalah qadha yang diketahui, ditulis dan dikehendakai-Nya.
Akan tetapi, Allah menggantungkan (masyarakat) penciptaannya (terjadinya); baik
dengan adanya sebab atau tidak adanya sebab.
Di dalam al-Mfradaat, al-Ashbahani
mengomentari perkataan Umar kepada Abu Ubaidah RA: Wahai Abu Ubaidah! kita akan
lari dari takdir (qadar) Allah menuju takdir (qadha) Allah. Maksudnya adalah,
selama qadar belum menjadi qadha, maka di harapkan Allah akan menangkalnya,
karena apabila telah menjadi qadha (terlaksana), maka ia tidak dapat ditolak
dan dicegah. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” (QS.
Maryam (19):20)
Firman-Nya, “Hal itu bagi Tuhan-mu adalah suatu kemestian yang sudah di tetapkan.”
(QS. Maryam (19): 71)
Firman-Nya, “Dan diputuskanlah perkaranya.” (qs. Al-baqarah
(2): 210)
Yakni, bahwa
perkara itu sudah diputuskan dan tidak mungkin dihindari.
Di antara sebab
terkuat bisa menangkal dan mencegah qadha adalah doa. Hal ini berdasarkan
hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh Tarmidzi dari Salman, ia berkata: rasulullah
SAW bersabda, “Tidak ada yang dapat
mencegah qadha kecuali doa.[3]”
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah[4] rahimahullah berkata, “Doa merupakan
sebab yang dengannya Allah menakdirkan sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya, yakni
akan terjadi disebabkan sesuatu (doa) tersebut, sebagaimana Allah melaksanakan
takdir yang telah di tentukan-Nya melalui sebab-sebab yang lain sesuai ilmu-Nya.”
(F: 14/366)
Doa termasuk takdir Allah yang dapat
menolak sesuatu yang merupakan takdir Allah pula. Ia termasuk salah satu sebab
yang dapat mencegah bencana, sebagaimana dijelaskan oleh syaikhul islam Ibnu
Taimiyah dalam fatwanya (14/147): Apabila
Allah menakdirkan sesuatu, maka dia juga menakdirkan sebab-sebabnya, dan doa
termasuk salah satu sebab.
Umar bin Khaththab pernah melarang para
sahabat memasuki daerah yang terjangkit wabah penyakit, maka Abu Ubaidah bin
al-Jarrah berkata kepadanya, “Apakah anda akan lari dari takdir Allah?” Umar menjawab,
“kalau saja bukan kamu yang mengucapkannya, wahai Abu Ubaidah! Ya, kami akan
lari dari takdir Allah menuju takdir Allah (yang lain).”
Abu Ubaidah bertanya, “apa
pendapatmu jika unta peliharaanmu menuruni sebuah lembah yang memiliki dua
sisi; yang satu subur dan yang lainnya gersang, bukankah jika kamu
menggembalakannya dibagian yang subur berarti kamu menggembalakannya sesuai
dengan takdir Allah? Dan, apabila kamu menggiringnya dibagian yang gersang juga
sesuai dengan takdir Allah?”
Kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf
yang sebelumnya tidak hadir karena suatu urusan, ia pun berkata, “tentang hal
ini aku pernah mendengar nabi SAW besabda:
“apabila kalian mendengar adanya
wabah penyakit di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya; dan
apabila terjadi disuatu tempat sementara kalian berada di dalamnya, maka
janganlah kalian keluar untuk melarikan diri drainya.”[5]
Abdurrahman bin Auf berkata, “maka Umar bertahmid dan memuji kebesaran Allah,
lalu pergi.” (Muttafaq Alaih)
Karena itu, tidak ada pertentangan antara keimanan terhadap takdir
terhadap sesuatu yang terjadi berkat usaha manusia. Hal itu di karenakan sebab
merupakan takdir Allah pula, dan yang turun dari langit adalah takdir-Nya.
Jadi, yang harus dilakukan adalah menyikapi takdir dengan takdir, atau
menghadapi takdir dengan takdir, atau lari dari takdir menuju takdir (yang
lain).
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib RA berkata; Rasulullah
SAW menghadiri pemakaman jenazah, kemudian beliau mengambil sesuatu dan
memukul-mukulnya ke tanah seraya bersabda:
“Tidaklah salah seorang di antara
kalian melainkan Allah telah menetapkan (menakdirkan untuknya tempat duduknya
di neraka dan di syurga. “ para sahabat bertanya, “ Wahai rasulallah! Jika
demikian, tidakkah sebaiknya kita pasrah saja dan tidak perlu berusaha? “
beliau pun menjawab, “ berusahalah,
karena masing-masing akan di mudahkan sesuai dengan apa yang telah di tetapkan
untuknya. Barang siapa termasuk penghuni alam kebahagiaan (syurga), maka Allah akan
memudahkannya untuk melakukan perbuatan
penghuni alam kebahagiaan (syurga). Dan,
adapun yang termasuk penghuni alam celaka (neraka), maka Allah akan
memudahkannya untuk melakukan amalan-amalan penghuni alam celaka (neraka).”
Kemudian beliau membaca, “ adapun orang
yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (syurga).” (QS. al-Lail (92): 5-6)[6]
2. Qadha Mubaram
Adapun
qadha mubram adalah qadha yang pasti
terjadi dan tidak bisa di tolak dengan sebab apapun. Ini terbagi menjadi dua; pertama, yang di pengaruhi oleh sebab
dalam mencapai akibat dengan izin Allah. Kedua,
yang tidak bisa di pengaruhi sebab, dan sebab tersebut tidak akan
bermanfaat baginya.
Contoh qadha mubram yang mana
peringatan tidak akan berarti dan sebab tidak dapat berpengaruh adalah umur.
Doa agar usia di panjangkan tidak akan berguna dan tidak akan berpengaruh pada
takdir.
Firman Allah, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu ; maka apabila telah datang
waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat
(pula) memajukannya.” (QS. Al-a’raf (7): 34)
Adapun qadha mubram yang terjadinya
dipengaruhi oleh sebab adalah seperti masuk syurga dan selamat dari neraka.
Dalam shahih muslim, pembahasan
tentang qadar, No. 2663; dan musnad Ahmad, No. 3692, disebutkan: diriwayatkan
dari Abdullah, ia berkata: Ummu Habibah-istri nabi Muhammad SAW- pernah berdoa,
“ya Allah! Panjangkanlah unurku bersama suamiku, rasulullah; ayahku, Abu Sofyan;
dan saudaraku, Muawiyah. Maka nabi SAW bersabda, “Kamu telah memohon kepada Allah tentang ajal yang telah di tetapkan,
hari-hari yang telah terhitung, dan rizki yang telah dibagikan (itu sama) tidak
bisa disegerakan sebelum datang waktunya dan tidak bisa di tangguhkan ketika
datang waktunya. Kalau saja engkau berdoa kepada-Nya agar di selamatkan dari
siksa neraka atau siksa kubur, maka itu lebih baik bagimu.”
Jadi doa agar usia di perpanjang sebagaimana tersebutkan pada teks hadits
diatas bukanlah bentuk suatu ibadah dan permintaan, bahkan tidak akan
bermanfaat dan tidak akan menjadi sebab yang berpengaruh kepada takdir.
Pendapat yang kuat mengatakan lebih baik tidak berdoa seperti itu. Adapun
bermohon agar selamat dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka ini
termasuk sebab sebab-sebab yang paling utama, inilah yang di anjurkan oleh
syari’at. Allah SWT mengaitkan masuk syurga dan selamat dari neraka dengan
perbuatan-perbautan, dan diantara perbuatan terbesar adalah doa, doa merupakan
suatu amalan yang sangat berpengaruh terhadap takdir.[7]
C. Hikmah Iman Kepada Qadha dan Qadar
1. Keimanan kepada
takdir dapat mengkristalkan makna-makna rububiyah
yang menyebabkan seseorang bertawakal
kepada-nya dan ikhlas, serta semata-mata hanya menyembah kepada-Nya. Inilah
buah keimanan terhadap takdir yang tertinggi.
2. Ridha dengan hukum Allah dan pilihan-Nya. Hal ini
bertujuan untuk membersihkan hati dan mengosongkannya
dari kesusahan dan kesedihan. Firman Allah SWT, “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa
seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah
niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun: 11)
Firman-Nya pula, “(Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (al-Hadid: 23).
BAB III
PENUTUP
A . Kesimpulan
Dari tulisan
makalah di atas, maka dapatlah kita simpulkan sedemikian di bawah ini:
- Qadha dan qadar adalah ketetapan Allah yang wajib kita imankan
- Qadha berarti penetapan hukum, atau pemutusan penghakiman sesuatu. Seorang qadhi (hakim) di namakan demikian sebab ia bertugas atau bertindak menghakimi dan memutuskan perkara antara kedua orang yang bersengketa di muka pengadilan.
- Qadha terbagi menjadi dua; yaitu. Pertama qadha mu’allaq, yang ia adalah qadha yang diketahui, ditulis dan dikehendakai-Nya. Akan tetapi, Allah menggantungkan (masyarakat) penciptaannya (terjadinya); baik dengan adanya sebab atau tidak adanya sebab. Kedua qadha mubaram yang ia adalah qadha yang pasti terjadi dan tidak bisa di tolak dengan sebab apapun. Ini terbagi menjadi dua; pertama, yang di pengaruhi oleh sebab dalam mencapai akibat dengan izin Allah. Kedua, yang tidak bisa di pengaruhi sebab, dan sebab tersebut tidak akan bermanfaat baginya.
- Orang yang beriman kepada qadha dan qadar adalah orang yang bisa qona’ah, ikhlas, dan ridho dalam menyikapi setiap persoalan yang datang. Yang hasil dari pada itu adalah terciptanya kehudupan yang sehat lahir dan batin.
B. Saran
Kami berharap dengan hadirnya
makalah ini kita dapat menyikapi persoalan qadha dan qadar dengan sebagaimana
mestinya umat islam terdahulu menyikapinya, karena mereka adalah generasi
terbaik sebagai mana yang di wahyukan Allah sebagai berikut:
Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah (9): 100)
Jadi, I’tiqad seperti merekalah yang
kita acukan kedalam diri kita. Kebanyakan orang beranggapan, bahwa kalau
mengikuti orang terdahulu kapan majunya? Pernyataan sedemikian jelas salah. Apakah
mereka yang bertanya seperti itu buta sejarah? Bahwa, justru generasi itulah
yang ruh jihad serta usaha mereka sangat kuat terhadap Islam. Mereka bukan
orang yang pasrah begitu saja terhadap takdir sebagaimana orang yang salah
persepsi terhadap takdir. Dengan kata lain mereka adalah orang yang hidup
bermotifasikan dengan takdir dalam menuju kejayaan, begitu pula hendaknya
dengan kita saat ini.
[1] Abu
Abdurrahman Ali bin as-Sayyid al-Washifi, Qadha
dan Qadar, Cet. Pertama,Jakarta Selatan, Pustaka Azzam, 2005, Hal. 51
[2] Murtadha
Muthahhari, Membumikan Kitab Suci-Manusia dan Agama,
Cet. Pertama, Bandung, Mizan, 2007, Hal. 217
[3] HR.
at-Tarmidzi dalam al-Qadar, no. 2129, menurutnya hadits ini hasan-gharib; hakim dalam al-mustadrak, 1/493; di-hasan-kan pula oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, 2/7687.
[4] Nama
lengkapnya Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Khidir bin Muhammad bin
Taimiyah an-Nawary al-Harrany al-Dimasyqi. Lahir di Harran kota
induk Arabia pada awal 661 H/ 1263 M
[5] HR.
Bukhari dalam Tafsir al-Qur’an,
No. 4665; dan Muslim dalam al-Qadar, No. 2647.
[6] HR. Bukhari
dalam Tafsir al-Qur’an, No. 2647.
[7] Abu
Abdurrahman Ali bin as-Sayyid al-Washifi,
op.cit, hal.191-197
0 komentar:
Posting Komentar