Izinkan Aku Menangis
Jam
menunjukkan pukul 21.20 malam… Kecurian. Aku tertidur sekitar 3,5 jam setelah
berbuka puasa petang tadi. Seingatku aku sedang kejar-kejaran dengan waktu di
etape sulit ini. Al Qur’anku belum selesai. Tapi entah mengapa, mushaf itu
tetap diam disamping bantal; dekat kepalaku? Aku menyerah lagi. Kelelahan fisik
dan kepenatan pikiran. Aku hendak berapologi pada diriku sendiri.
Kegundahan
apakah ini? Kekhawatiran apakah ini? Kecemasan apa lagi?
Mengapa
pelupuk mataku panas. Namun, aku malu untuk menumpahkan air mata. Ya, air mata
bening itu hanya boleh kutunjukkan pada-Nya. Bukan untuk memperturutkan rasa
dan emosi serta mengalahkan rasio yang wajar. Meski… jebol juga tanggul itu.
Aku
membuka hadits ini lagi, ”Orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan
dirinya dan berbuat untuk masa setelah mati. Orang yang lemah adalah yang
memperturutkan hawa nafsunya dan berharap (banyak) pada Allah”. (HR.Turmuzi,
dari riwayat Syaddad bin Aus ra.)
Jika
kebodohan (tidak cerdas) tidaklah berakibat kepada kemurkaan Allah? Dan
ternyata pengharapan pada-Nya saja tak cukup. Sering menyerah pada diri sendiri
di tengah komitmen hendak berbuat. Harapan tanpa kekuatan itu disabdakan
Rasulullah Saw. sebagai kelemahan. Mengapa aku lemah?
Jika
saja ini bukan di etape final. Aku boleh berharap banyak untuk menjadi sang
pemenang. Jika saja aku boleh berandai, jarum jam diputar. Namun, agamaku
melarang pengandaian. Benar. Konsentrasi di babak ini seringkali buyar.
Aku
membuka genggaman tangan kiriku. Ya, tinggal itulah hitungan hari-hari
pembekalan tahun ini. Aku tak pernah tahu, mampukah aku sampai di
penghujungnya. Mampukah aku menjadi yang terbaik diantara sekian juta para
pemburu satu cinta, sejuta pengampunan dan seribu keberkahan? Aku malu
menanyakannya pada diriku sendiri.
Masih
tersisa kedengkian. Masih ada pertanyaan sikap dan prasangka buruk. Masih juga
bersemanyam ketersinggungan dan gerutu ketidakpuasan. Masih ada pandangan mata
khianat. Masih ada ketajaman lidah yang melukai hati. Masih juga mengoleksi
berita-berita tak bernilai. Masih saja melafazkan kata-kata tak bermakna.
Lantas, apa makna tengadahan tangan di tengah malam yang diiringi isak
pengharapan. Sekali lagi, pengharapan yang lemah yang kalah oleh nafsu.
Aku
terduduk lemas. Alhamdulillah Allah memberi kekuatan untuk mengungkapkannya.
Aku pandangi lama-lama refleksi kegundahan itu.
Aku
hanya boleh bertanya, kemudian kujawab sendiri. Selain itu hanya kesunyian.
Meski dunia sekelilingku ramai dengan hiruk pikuk malam. Kedai sebelah rumah
masih ramai. Coffee shop masih dipenuhi orang yang asyik menonton el
Ahli–mungkin–, klub kebanggaan mereka sedang berlaga. Aku dibangunkan teriakan
itu. Mengapa tidak suara Syeikh Masyari Rasyid yang melantunkan surat al Qiyamah,
misalnya. Atau suara siapa saja yang menembus gendang telinga ini. Namun,
melantunkan suara pengharapan yang kuat yang bisa menembus langit-Nya.
Atau
suara-suara dari rumah-Nya yang dipenuhi isakan harapan hamba-hamba-Nya yang
berlomba memburu seribu keberkahan dan sejuta pengampunan. Atau senyuman
malaikat yang menyaksikan bocah-bocah kecil yang menahan kantuk berdiri sambil
memegangi mushaf kecil dipojok-pojok masjid.
Sebagaimana
aku boleh berharap di penghujung hari pembekalan ini, aku menjadi sang jawara.
Namun, aku malu untuk berharap demikian. Sebagaimana aku juga boleh berharap
menutup hariku di dunia dengan syahadah di jalan-Nya. Toh, semua menjadi
misteri yang tak terjawab.
Ya,
Khalid bin Walid pun yang sangat pemberani akhirnya menutup harinya di atas
pembaringan. Lantas, tidakkah malu aku membandingkan pengaharapanku dengan
kelemahan diriku menghadapi diri sendiri.
Sebagaimana
aku mengandaikan bidadari surga. Apakah ia takkan cemburu dan marah dengan
pandangan khianatku pada hal-hal yang tak seharusnya kulihat.
Sebagaimana
aku berharap istana megah setelah matiku. Sudah berapakah aku menabung untuk
itu. Sementara hidupku dipenuhi ambisi dan obsesi yang penuh dengan tabungan
materi dan memegahkan istana duniaku. Dan aku telah mencintai dunia itu.
Sebagaimana
aku berharap menikmati seteguk susu dari aliran sungai di surga-Nya. Aku lalai
mengumpulkan “dana” untuk membelinya. Juga madu dan jus mangga.
Sebagaimana
aku tetap berharap ingin terus mencicipi delima merah dan jeruk sankis serta
buah khukh di masa setelah kefanaan ini. Tapi aku terlalu terpana oleh
keindahannya yang sementara. Entah berapa tahun, bulan, hari atau bahkan
hitungan detik aku masih bisa melihatnya di toko buah-buahan di sebelah
rumahku.
Aku
memaknai keterlaluan yang fatal ini dengan sikap yang tidak seimbang.
Khayalanku dipenuhi pengaharapan. Namun, hatiku disesaki kelemahan. Akibatnya
seluruh organ tubuhku lemah. Mata, telinga, mulut, kaki, tangan… semua menolak
untuk diajak menggapai cinta-Nya.
Etape
final ini banyak tikungan tajam. Dan aku terjatuh. Putaran roda keinginan
tersebut trrgelincir oleh kerikil kecil bernama kelalaian. Alhamdulillah, aku
masih bisa bangkit meneruskan perjalanan. Meski aku tahu, kini aku jauh
tertinggal. Aku belum bisa menjadi yang terbaik. Tapi aku masih bisa berharap
untuk menjadi baik. Karena aku masih bersama orang-orang baik bahkan mereka ada
di depanku; orang-orang terbaik itu.
Aku
masih harus melewati tikungan tajam lainnya. Tergesa-gesa, kecerobohan, cinta
dunia, rasionalisasi kesalahan, buruk sangka. Namun, aku masih punya bekal.
Cinta, hati nurani dan bahan bakar ketelitian serta nasihat orang-orang shalih.
Dan tikungan tajam yang paling membahayakan di akhir etape ini adalah:
menduakan cinta-Nya. Ada
cinta lain yang menyesak hendak menggeser kemuliaan itu.
Ada beberapa materi terakhir
di ujian final ini: menanggalkan kesombongan dan ingin dipuji serta disanjung
berlebihan. Menanggalkan kecintaan dunia yang berlebihan dengan qanaah dan
tawadhu’.
Tiba-tiba
aku ingin menangis. Namun, aku tak mampu. Ya Allah aku ingin mengeluarkan air
mata ini untuk-Mu. Aku khawatir kesulitan ini tersendat karena kemurkaan-Mu.
Air
bening itu tersendat. Jangan-jangan karena kesalahanku. Karena
tumpukan-tumpukan egoisme. Karena tumpukan-tumpukan kotoran buruk sangka.
Karena tumpukan-tumpukan gerutu. Karena tumpukan-tumpukan doa-doa yang kosong.
Terkunci oleh hawa nafsu.
Jika
demikian, jangan Kau murkai hamba ini ya Allah. Hamba masih terus berharap
pembebasan dari murka-Mu di hari-hari pembebasan ini.
“…
dan sepertiga terakhirnya adalah pembebasan dari api neraka,” demikian
Rasulullah Saw. menjelaskan karakteristik bulan pembekalan ini. Ya Allah,
jadikanlah nama hamba ada dalam daftar pembebasan itu. Juga nama kedua orang
tua hamba, keluarga hamba, para guru hamba, saudara-saudara hamba serta siapa
saja yang mempunyai hak atas hamba. Amin.
BY. ABROR